Jadi, Vonny, yang lahir 14 Agustus 1979, artinya belum sepuh, bukanlah sebatas kenangan tentang tubuh dan pesona perempuan Nusantara. Bukan melulu tentang matanya yang jenaka, senyumnya yang tenang atau lembut suaranya yang meneduhkan.
Vonny adalah penggal narasi dalam sejarah kemuakan sebagai warga negeri postkolonial dimana praktik kolonial masih berlanjur dengan penyamaran structural yang canggih dimana-mana. Vonny juga adalah alasan dari masa lalu yang membuat saya selalu curiga pada sinetron hari ini (tentu saja zaman Vonny tidak!) dimana mekanisme pelarian diri dan pertunjukan kekerasan simbolik begitu telanjang.
Sudah jelas kalau Vonny Cornellya adalah kehadiran yang paradox, bagi saya. Hadirnya adalah…..dia yang kini tak lagi ada sesudah membebaskan saya.
Cieeeeh, serius sekali! Curhat pakai bawa Mercuse. Ckckck.
Gimana Om Guru Felix, saya sudah ikut menyuarakan jerit pinggiran atau belum nih? Â Â
Tidur dulu, sungguh capek lahir batin menghabiskan waktu untuk sekedar log in.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H