Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Musyawarah Sarung

13 Oktober 2016   18:41 Diperbarui: 13 Oktober 2016   18:55 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Para sarung akhirnya memutuskan berkumpul. Musyawarah.

“Kita membutuhkan pemimpin yang menyuarakan kepentingan dan masa depan sarung,” kata sarung berdasar warna hitam dengan sulaman benang emas yang mengelilingi lingkar tubuhnya. Sederhana tapi mewah, berkelas. Desas-desunya, ia berasal dari lemari bangsawan. Jarang dipakai kecuali sedang ada upacara kerajaan.

“Karena itu juga, hematku, ia sering naïf,” bisik sebuah sarung dengan bau rokok ketengan bercampur apek pantat yang kental. Sarung aktivis kampus, lusuh dan jarang dicuci.

“Tapi dia benar adanya. Kita butuh pemimpin yang mengikat persatuan, menghilangkan kasta-kasta di tengah kita, bukan?”

Suara sarung yang lain kurang bersetuju protes sarung aktivis. Kali ini sarung dengan warna ungu pudar. Menanggung rindu yang dikutuk.

“Kau tak pernah tahu rasanya menutup tubuh yang ditinggal begitu saja sesudah bercinta. Cintamu itu pulang lalu bermanja pada selimut di kamar penuh harum parfum paris. Ia bercinta lagi di bawah lindungan selimut impor.”

Ow, ow, sarung yang memendam luka diselingkuhi. Mungkin ia berasal dari kost-kostan buruh pabrik arloji yang dipaksa merayakan birahi pemilik saham.

“Justru itu, kau jangan memilih yang bangsawan. Mereka tak pernah tahu sakitnya malam-malam dicampakkan bersama pesing kencing tikus!”

***

“Sodara-sodara, selamat malam. Semoga kita semua selalu dalam lindungan kesederhanaan. Semoga kita selalu dipersatukan dalam ikatan persaudaraan.”

Suara MC membuka musyawarah.

“Aamiin.”

“Karena kita belum memiliki pemimpin maka di malam penuh warna-warni ini, mari kita ajukan calon yang kita pandang layak.”

“Interupsi! Nanti dulu. Bukan begitu prosedurnya.”

Sarung aktivis tak lagi bisa menahan gerahnya.

“Lantas?”

Sarung dari lemari bangsawan menyanggah tanpa melirik asal suara. Memandang sebelah mata.

“Jelaskan visi misi dulu. Baru kita memilih.”

“Tidak perlu. Kita langsung saja menunjuk siapa yang kita rasa pantas.”

Sarung yang lain, dengan motif batik elegan, tetiba masuk di tengah debat. Sepertinya ia sarung yang terbiasa bicara di rapat-rapat birokrat. Ia tak percaya prosedur demokratis, omong kosong biaya tinggi saja baginya.

Pemimpin baginya adalah takdir, hanya untuk golongan khusus.

“Tidak. Saya menentang cara pengambilan keputusan seperti itu. Semua sarung berhak mendengar visi dan misi kandidat. Memilih berdasarkan program, bukan latar belakang posisi sosial.”

Sarung yang memendam dendam sebab kalah oleh selimut bersuara lantang. Ia telah berubah haluan, kini tegas mengambil garis politik bersekutu dengan aktivis, “Sarung yang hidup dalam hari-hari jelata sudah lelah menjadi obyek dari keputusan-keputusan sarung seperti Anda,” tambahnya. Tegas.

Suasana kemudian gaduh. Para sarung terpecah dalam dua aspirasi.

“Sodara-sodara sesama sarung, mohon bisa mengendalikan diri. Mohon bisa tenang sebentar.”

Tambah gaduh. Makin liar. MC tak berdaya.  

“Walk Out, Walk Out.”

Sebuah sarung yang lama hidup di negeri asing menambah panas situasi. Ia memprovokasi sarung-sarung akar rumput meninggalkan ruangan musyawarah. Ia mungkin pernah terlibat aksi Occupy World Bank. Kabarnya ia baru tiba pagi tadi dari Brussels, menumpang kapal kargo yang memuat barang bekas import selundupan.

Deadlock membayang sudah.

“Sodara-sodara terkasih, sodara-sodara penerus tradisi, mohon kita tidak terjebak perpecahan yang menuruti ego. Kita bangsa sarung jangan seperti bangsa manusia.”

Tetiba suasana menjadi hening. Serupa api disiram air.

Berdampingan dengan MC yang panik, dua sarung turut menenangkan. Suara mereka teduh. Warna mereka lembut, putih dan hijau. Sepertinya mereka sering bersujud di rumah Tuhan.

“Mari segala perbedaan pandangan kita bicarakan baik-baik. Letakkan kepentingan seluruh sarung di atas gelisah dan ambis ego masing-masing kita.”

Tenang, terkendali. MC kemudian mengambil alih.

“Silahkan dilanjutkan,” kata kedua sarung yang perlahan kembali, berbaur dengan para peserta.

“Bersatulah Para Sarung!”

Sebuah sarung yang telah sobek hingga setengahnya tetiba berteriak. Tergolong yang sepuh. Bertahun lama telah mengkhlaskan tubuhnya menanggung panas setrika. Ia lega, para sarung yang lebih muda bisa menahan panas ego.

Para sarung bersepakat, menuruti ego adalah melayani api yang hanya akan menyisakan abu.

Berlatar bangsawan pun sekedar penutup dingin di kampus yang terancam drop out, semua sarung memiliki riwayat tradisi dan kekayaan budaya yang tak boleh dinistakan.

Musyawarah para sarung malam itu pun berlangsung teduh dan penuh kasih.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun