“Aamiin.”
“Karena kita belum memiliki pemimpin maka di malam penuh warna-warni ini, mari kita ajukan calon yang kita pandang layak.”
“Interupsi! Nanti dulu. Bukan begitu prosedurnya.”
Sarung aktivis tak lagi bisa menahan gerahnya.
“Lantas?”
Sarung dari lemari bangsawan menyanggah tanpa melirik asal suara. Memandang sebelah mata.
“Jelaskan visi misi dulu. Baru kita memilih.”
“Tidak perlu. Kita langsung saja menunjuk siapa yang kita rasa pantas.”
Sarung yang lain, dengan motif batik elegan, tetiba masuk di tengah debat. Sepertinya ia sarung yang terbiasa bicara di rapat-rapat birokrat. Ia tak percaya prosedur demokratis, omong kosong biaya tinggi saja baginya.
Pemimpin baginya adalah takdir, hanya untuk golongan khusus.
“Tidak. Saya menentang cara pengambilan keputusan seperti itu. Semua sarung berhak mendengar visi dan misi kandidat. Memilih berdasarkan program, bukan latar belakang posisi sosial.”