Senja mengajak pacarnya duduk-duduk di tepi pantai.
Pantai sudah sepi dan tak ada yang peduli.
Pacar senja sangat pendiam: ia senyum-senyum saja
mendengarkan gurauan senja. Bila senja minta dipeluk,
setengah saja, pacar senja tersipu-sipu.
"Nanti saja kalau sudah gelap. Malu dilihat lansekap."
Cintaseperti penyair berdarah dingin
yang pandai menorehkan luka.
Rindu seperti sajak sederhana yang tiada matinya.
Tak terasa senyap pun tiba: senja tahu-tahu
melengos ke cakrawala. Meninggalkan pacar senja
yang masih megap-megap oleh ciuman senja.
"Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat
kurapikan lagi waktu? Betapa lekas cium
menjadi bekas. Betapa curangnya rindu.
Awas, akan kupeluk kau habis esok hari."
Pantai telah gelap. Ada yang tak bisa lelap.
Pacar senja berangsur lebur, luluh, menggelegak
dalam gemuruh ombak
[2003]
Joko Pinurbo menghadirkan kesaksian rindu dalam narasi romantika dengan khas puitikanya. Rindu dalam tuturnya adalah perjumpaan yang tiada abadi. Rindu adalah kehendak bersatu yang tidak bisa utuh selamanya, kalau bukan seperti selingan dalam abadinya hukum-hukum alam yang membatasi kefanaan manusia.
Tapi rindu, persis seperti sajak sederhana, ia tidak pernah ada mati-matinya sekali pun dimutilasi perpisahan.
Ada nada, getar emosi, dalam tiga puisi tentang rindu yang pagi ini saya dengarkan lagi. Saya mendengarkan karena itu saya tidak merujuknya pada macam-macam teori yang justru membuatnya kering kerontang seperti pepohonan indah yang dipaksa tumbuh pada tanah yang menolaknya.
Saya hanya ingin mengungkapnya dengan nada yang lebih eksplisit, dan semoga kesampaian.
Jadi, dalam puisi atau juga lagu, rindu adalah salah satu elemen penting dalam puitika. Ia gairah yang menghidupkan "suasana emosional"--yang tidak selalu dipicu rasa marah atau benci--dimana puisi menemukan rumah pelahirannya terus menerus. Sebab itu tidak ada yang lebih membahagiakan dari merayakannya.