Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gairah Rindu dan Puitika

28 September 2016   10:08 Diperbarui: 28 September 2016   16:21 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rindu tidak pernah bisa diteorikan. Sama juga: tidak bisa diceramahkan.

Rindu adalah hentak emosi yang jujur, ia bisa datang tiba-tiba tanpa memberi kode terlebih dahulu. Ia bahkan bisa tidak ambil pusing pada kesepakatan moral yang disusun oleh masyarakat. Ia mungkin bisa disembunyikan di balik yang serba dingin dan logis, tapi ia tidak pernah bisa dibunuh bahkan oleh rezim paling totaliter sekalipun.

Wong Hitler saja keok, tersedu-sedu di depan perempuan yang menjadi pusat rindunya. Sama halnya Auguste Comte, pemberi nama sosiologi, yang mengagungkan positivisme itu di penghujung galaunya menciptakan agama cinta karena kekasihnya.

Karena itu juga, pada jiwa yang menampilkan ketegaran tanpa lelah, ada jejak rindu yang menolak hidup sia-sia. Pada kesadaran yang mudah marah-marah, bisa jadi ada muram rindu yang terus saja kalah. Dan, pada sosok yang penuh ketenangan, tumbuh rindu yang sudah menemukan rumahnya.

Rindu bisa saja merusak atau justru memperbaiki. Ia bisa menyembuhkan atau menghancurkanmu dalam luka abadi, coi! 

Maka kalau masih ada yang berharap dengan pergi mendengar kuliah-kuliah moral tentang rindu yang ideal kemudian berfikir menemukan resep paling tepat, jawabannya bisa jadi dua: sesat jalan atau sia-sia.

Rindu tidak pernah bersalah, cara meresponnya yang salah. Sepertinya begitu.

Tapi sudahlah, pagi ini tidak tentang mengapa rindu menjadi bersalah atau terlarang seperti lagu Om Broery Pesulima. 

Saya hanya ingin mengikuti ujaran Paul Tillich, seorang filosof cum teolog Krisitiani berkebangsaan Jerman yang pernah berujar kewajiban pertama dari cinta adalah "mendengarkan"!

Sebab rindu dan cinta galibnya berpasangan, maka saya hanya ingin mendengarkan rindu.

Rindu pertama, adalah rindu (dari hati) yang menolak tua. Menolak tua yang membuat rindunya menjadi sekarat atau juga pikun. Ia juga rindu yang bukan menyatakan dirinya, melalui senandandung lagu, demi puja kekaguman dan tepuk tangan ketakjuban. Lantas di ujung tepukan, serempak bilang, "Gilaaa, keren abiiis!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun