Saya rasa, ini ihwal rindu yang ingin bilang ada:
Rasa rindu-sesal-tangis
Bersenyawa lewat dawaiku
Menaruh rindu setengah mati
Menanak rintih...Musabab soal rindu tak kenal usia
Penutur puisi ini, Abang Armand, mungkin terbaca di mata Anda, sedang galau akut. Tapi saya menolak mencerap demikian walau rindu memang merawat galau.
Pada rindu yang menolak tua, saya mendengar rindu yang melampaui yang kini. Rindu yang bukan saja aktual--terus hadir dan meremuk jiwa dalam gelombang pasang surut rasa--tetapi juga 'spiritual', ia melampaui yang kini dan kasat mata.
Kemudian, ada rindu kedua, jenis rindu yang berdiri dalam usia lebih muda. Anda boleh bilang, rindu muda-mudi.
Rindu yang ditutur secara puitis oleh sodara kita, Jansori Andesta. Padanya, saya mendengarkan rindu yang membuat penuturnya bertahan dalam penantian, dalam keyakinan yang bergulat dengan kecemasan akankah rindunya bersua bahagia.
Seperti yang diminta didengarkan dalam bait penutupnya:
pucuk usia kian meninggi
menunggu masa tertunduk layu
tak usai jua masa menanti
semoga tiada berakhir pilu
Rindu yang rasa-rasanya sejenis pula dengan yang lebih tua: ia hadir dalam kekinian sekaligus melampauinya; pengalaman rasa aktual sekaligus 'spiritual'. Tentulah bagi saya. Atau saya mendengarkannya seperti itu. Dan saya percaya, apa yang spiritual dalam arti energi yang meruwat jiwa-jiwa bertahan dalam pasang surut pengalaman rasa, adalah kekuatan yang menjaga harkat manusia.
Tegas kata, berjuta kepedihan yang diawetkan sunyi tidak pernah bisa membunuh rindu!
Rindu ketiga saya temukan (lagi) dalam puisi Joko Pinurbo. Judulnya Pacar Senja, dengan redaksi puitis seperti ini: