“Siapa? Jawab yang jujur, siapa?”
Mika makin beringas. Lebih galak dari simpanse yang melindungi bayi Tarzan.
“Benar Ka, sumpah, itu nama di pembukaan puisi.”
“Gak percaya, mana puisinya? Kenapa di puisi sebelumnya gak pakai nama perempuan? Mana puisinya, mana?”
Mampus. Kenapa juga saya buang kertas itu sesudah dihapal, rutuk Emon. Terbayang wajah kepala desa sedang cengengesan.
“Sudah saya buang. Kata Pak Kades, sesudah dihapal, dibuang saja. Supaya lebih menjiwai, Ka,” bujuk Emon sambil meringis. Kulit tipis perutnya seperti ditanam besi yang masih membara.
“Bohong. Panggil Kepala Desa ke sini!”
“Lhoo, kok….”
“Panggiiiil, lekas.”
Sambil mengeraskan cubitannya, Mika menyeret Emon ke pintu depan. Lalu, braaak. Pintu dibanting. Emon hanya bisa mematung sambil menahan perihnya.
“Lekaas atau kamu tidur di pos ronda malam ini!”