“Hehehe.”
Kepala desa mati gaya. Persis tikus tua tersiram air mendidih.
“Satu saja dulu. Nanti, besok lagi.”
Emon terus berpamitan . Ia teringat belum mengangkat jemuran dan memberi makan ayam-ayamnya.
“Mon, jangan lupa ceritakan reaksi Mika sesudah mendengar puisinya ya.”
Pesan kepala desa menyertai langkah Emon yang bergegas melintasi pekarangan depan.
***
“Kepada Sri, yang selalu sangsi…"
“Siapa Sri? Siapa? Haaaa?”
Mata Mika melotot. Jemari kirinya mencubit perut tipis Emon sedang yang satu lagi bercakak pinggang.
“Aduuuuh…Sri itu nama dalam pembukaan puisi Pemberian Tahu, Ka.”
Emon meringis kesakitan. Kepala desa kurang kerjaan. Mengapa juga puisi yang diberikan harus menggunakan nama perempuan sih. Kampret, makinya.