Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ramai Mario Teguh dalam Sedikit Catatan

11 September 2016   12:22 Diperbarui: 3 Agustus 2023   07:28 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustration: Freeware Market Kaskus

Pada akhirnya gairah kepo mengantar saya menyaksikan wawancara klarifikasi Mario Teguh di Kompastv. Tapi sebelum jauh berkata-kata, saya juga perlu melakukan klarifikasi atas klarifikasi si pemilik “Salam Supeer” juga “Sahabat saya yang baik hatinya” ini. 

Anda boleh juga bilang kekepoan saya adalah keinginan menumpang beken. Ini oke juga, sah.

Pertama, gairah kepo saya tidak dirangsang oleh sejenis penasaran akan kebenaran. Maksudnya adalah tidak ada urusannya benar Mario Teguh atau yang mengaku anaknya itu. 

Karenanya juga, ini tidak untuk terlibat pergunjingan digital dan menyerahkan diri dalam polarisasi antara pecinta motivasinya atau yang berdiri di sisi seberang, para penjijik.  

Kedua, tidak juga karena dirangsang oleh keterjagaan dan kemuakan terhadap “politik industri tontonan” yang tetiba bergemuruh lantas berlomba-lomba menjadi “industri tontonan paling otoritatif” dalam menjelaskan duduk masalah kasus ini.

Keterangsangan saya mula-mula karena ingin menyimak seperti apa seorang motivator dihajar oleh masa lalunya dengan serangan yang “mematikan”. 

Serangan mematikan itu, kita tahu, karena motivator paling top sesudah Soeharto lengser ini, sering menunjukan romantika cinta ideal yang bukan saja berupa kata-kata puitis namun juga dalam foto-foto keseharian. Komplitnya, motivator tentang hidup yang sukses cinta, berkeluarga dan karir. 

Dengan kata lain, serangan masa lalu ini mau bilang kalau si motivator adalah omong kosong romantika cinta. Dalam sejarahnya, motivator kita ini pernah menelantarkan anak dari pernikahan yang sekarang sudah berusia bapak-bapak juga. Demikian yang berserak di media massa.

Jadi motif saya menyimak wawancaranya di Kompas tv yang dipublish di Youtube dan dipecah dalam empat penggal adalah hanya sekedar melihat kemampuan si motivator menanggapi serangan atas dirinya. Apakah ia selihai mengomentari pertanyaan audiens atau seperti apa?

Dan dari wawancara itu, saya kira si motivator masih sebagai pemenang atas serangan tersebut. 

Ia tetap tenang dan tetap bisa berkata-kata yang seperti dalam pertunjukan Golden Ways-nya. Karena yakin dia masihlah pemenang, saya berpindah pada keterangsangan berikutnya.

Keterangsangan yang dilahirkan oleh pertanyaan yang mundur kebelakang: mengapa hari ini membutuhkan sosok seperti motivator kita ini? Atau, mengapa motivator-motivator itu selalu bisa laku dalam industri tontonan? 

Perlu diingat ada banyak jenis motivator dalam industri tontonan hari ini termasuk mereka yang mendadak orang saleh di televisi.

Motivator kita ini tentu saja segmen konsumennya adalah mereka yang melek informasi. Mereka yang secara umum kita golongkan saja sebagai kelas menengah. Kelas pekerja jenis “immaterial” yang mampu menghasilkan uang lebih tanpa terlibat langsung dalam produksi material seperti kaum buruh. 

Sebab kata-kata yang dia sebarluaskan memang membutuhkan, menurut saya, bukan saja jiwa-jiwa yang pekerja kelas yang gelisah, namun juga secara kognitif yang mampu menjangkau super kata-kata itu. Jadi ini lebih dari sekadar bisa membeli televisi atau tidak.

Maka dalam pertanyaan lebih kedalam lagi, kiranya, akan menjadi: mengapa kelas pekerja immaterial—berbeda dengan buruh, petani, orang-orang miskin, pedagang kere yang tergusur, dan sejenisnya-- melek informasi ini harus gelisah dan seberapa penting mereka membutuhkan motivasi dari luar dirinya dengan menyediakan kepala di depan kuasa industri tontonan?

Pertanyaan ini yang hendak saya telusuri sebisa yang mampu dilakukan.

Kita akan berbicara tentang jiwa-jiwa pekerja immaterial yang diterpa oleh mimpi-mimpi tentang karier, cinta, keluarga atau kehidupan duniawi yang ideal dan pada saat bersamaan harus hidup dalam disiplin kompetisi (pasar) yang makin keras. 

Mungkin karena itu juga mengalami buntu bersama krisis-krisis diri-harian yang berulang dan seolah saja tidak cukup memiliki referensi dari pengalaman faktualnya sendiri.

Sehingga kehadiran motivator kita ini adalah ungkapan akan sejenis rasa kosong subyek terhadap energi psikis yang dibutuhkan agar dunia yang berlarian karena tekanan modernitas tinggi—frasa yang saya pinjam dari Anthony Giddens—tetap bisa dalam “genggaman” subyek. Seperti gadget canggih, bukan saja bisa membelinya tetapi juga bisa lihai menggunakannya.

Artinya kebutuhan akan motivator ini juga adalah kehendak untuk selalu menang terhadap dunia yang berlarian (runaway world) karena tekanan modernitas tinggi yang menerabas serupa juggernaut: ia menabrak ke segala arah dan meninggalkan serakan makna dimana-mana, membuat subyek gamang. 

Kehendak pemenang seperti ini juga menunjukan ambisi selalu berada di puncak, menolak menjadi jiwa-jiwa kalah yang tersungkur menjadi pecundang.

Gairah seperti ini menyeruak dimana-mana, apa yang boleh disebut sejak lama sebagai "Darwinisme" dalam hidup sosial bukan sebatas teori sosial. Tambah lagi, negara hari ini bersama sistem dunia yang melingkupinya makin sibuk berjibaku dengan mantra besar bernama kompetisi dan pasar. Jadi, gairah seperti ini adalah gairah yang sesuai dengan zamannya (?). Klop.

Apakah gairah yang sesuai dengan zamannya alias memenangkan pertarungan dalam dunia yang berlarian tadi akan juga otomatis kehilangan jiwanya yang sosial? Menjadi individu yang lepas sendiri-sendiri?

Tentu saja tidak. Faktanya juga tidak. 

Sebab ia tetap membutuhkan tafsir atau ideal cinta dan hidup berkeluarga yang penuh romantika juga life style up to date dan harus terus dikampanyekan dalam lakon “subyek dramatik” di sosial media. 

Subyek dramatik adalah subyek yang mentransformasi kemampuan menghasrati dirinya sendiri ke dalam kehadiran yang selalu diakui secara sosial dan digital. Ia pada akhirnya melahirkan pula masyarakat fans. 

Pada kolaborasi antara ideal hidup sukses, kebutuhan motivator, subyek dramatik dan sosial media, saya hendak melihat yang pergi dari keramaian yang diakibatkan kolaborasi di atas. 

[Ini juga bagian penting sebelum klimaks kata-kata].

Salah satu yang menurut saya—sekali lagi menurut saya-- hilang atau menumpul dalam kondisi demikian adalah kapasitas individu untuk curiga dan bertanya mengapa kita harus hidup berkompetisi dan mengapa citra gaya hidup tertentu harus disebut sukses dan tidak sukses tanpa harus memindahkan gelisah karena kekosongan kepada rujukan motivator lain yang merasa sudah “menggenggam surga atau masa depan” dengan kebenaran tafsir yang mutlak?

Sebab ideal sukses bukan sesuatu yang netral atau “merupakan takdir sejarah”.

 Ia seperti selera estetis dalam kritik Pierre Bourdieu, ia memiliki dimensi politis (kuasa) yang terbentuk sekaligus berkemampuan membedakan dalam relasi-relasi kelompok sosial. 

Dan ini senada dengan peringatan Ivan Illich yang pernah bilang: kelas terdidik itu—atau bisa disebut “pekerja immaterial”—pada akhirnya adalah golongan yang menentukan ideal-ideal hidup yang layak di masyarakat. Sekolahlah wahana yang memproduksinya.

Motivator kita ini, rasanya, tidak mengajarkan kata-kata yang menggugat ideal sukses tersebut secara tajam dan konsisten. Ia juga tidak bicara  the Another World is Possible seperti para penentang globalisasi.

Mengapa?

Alasannya sederhana saja. Ia hadir untuk melayani (= membenarkan?) sistem seperti ini. Ia kebutuhan yang dilahirkan. Berani menentang, yakin saja ia akan musnah dimakan sistem besar yang merawat ideal hidup sukses itu.

Jadi, pada dasarnya akan balik juga pada daftar pilihan pribadi, keberanian memilih dan konsistensi menjalani pasang surut tindakan dan konsekuensinya. Tidak ada rekomendasi moral yang ready to use bro!

Selamat hari Minggu.

*** 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun