Emon masih gundah gulana.
Ia masih belum bisa menerima fakta bahwa hari-hari ke depan akan hidup bersama Mika. Ia masih tidak percaya kalau urusan beginian tidak selalu perkara yang bisa direncanakan A sampai Z-nya. Terlebih lagi, di hari ketika tubuh cekingnya terjun ke sungai di tengah warga kampung yang berjejal sesak, ia masih belum tahu siapa tersangka yang mendorongnya. Sementara kepala desa terus saja mendesak untuk menyepakati waktu yang tepat melangsungkan hajatan. Menikah.
Emon merasa tak berdaya atas kebetulan-kebetulan yang membentuk jalan nasibnya.
“Mon, sadarkah kau jika kau adalah orang yang dipilih. Sadarkah kau jika hari yang kau anggap naas itu adalah pintu kebahagiaan masa depanmu?” tanya kepala desa sore itu. Sambil berkedip mengingatkan kalau ada 1999 lelaki yang patah hati karena gagal memenangkan masa depan kembang desa merka. Mereka dikalahkan Emon yang untuk hidup bertahan melawan dingin pos ronda setiap malam.
Terpilih dari Hongkong. Sayembara laknat! umpat Emon dalam hati.
“Kau harus segera menyetujui hari baik yang sudah pak Imam usulkan. Jangan tunda lagi. Jangan sampai Mika berubah pikiran.”
Hadeeeh, suruh pak Imam saja yang jadi suami Mika, umpat Emon lagi.
“Jadi gimana Mon?” desak kepala desa. Kini dengan tekanan sepersis debt collector.
“Atur baik saja Pak.”
“Atur baik gimana?”
“Ya diatur menurut mau bapak dan pak Imam.”
“Duit pestanya Mon?”
Mata Emon melotot. Menatap dalam ke mata kepala desa. Dalam pikirannya, bapak pura-pura lupa kalau saya hidup dari hutang ke hutang?
“Hihihihi. Jangan naik pitam dulu coi. Selow bro, semua kebutuhan pernikahan kalian ditanggung keluarga Mika,” jawab kepala desa dengan cengengesan. Seolah saja dia yang memiliki hajatan.
“Malam ini kamu tidur di sini. Jangan di pos ronda lagi. Nanti malam pertamamu malah sibuk dikerok Mika.”
Pesan kepala desa sebelum Emon meninggalkan teras rumahnya.
Malam pertama?
Tetiba tengkuknya dingin. Emon merasa setan betina sedang duduk di sana.
***
“Gimana? Sah?”
“Saaaah!”
Pak Imam kemudian membaca doa yang diaminkan Emon dan seluruh yang hadir. Semua tersenyum bahagia. Juga ayah dan ibu Mika beserta saudara-saudaranya yang datang dari jauh. Mereka semua menganut ajaran lama: berkeluarga itu jangan lama-lama. Lega, Mika telah bersuami juga. Bahwa suaminya hanyalah pemuda ceking penganggur, itu bukan perkara.
“Rejeki sudah ada yang ngatur,” kata tante Anik, adik ibu, kepada Mika sehari sebelum akad nikah.
“Kalau cinta, siapa yang ngatur?”
“Cinta tumbuh seiring hari-hari bersama.”
“Cieee, Tante…belajar dimana?” tanya Mika. Geli.
“Di Facebook.”
Akad nikah sudah selesai, Mika tambah berdebar-debar di kamarnya. Debar yang makin membuat pesona kembang pada parasnya makin menebar, memenuhi segala sudut, dan menghanyutkan pandangan.
Mika lantas dibawa keluar dan bertemu suaminya yang lolos dari sungai sarat buaya. Mereka berdua lalu duduk bersisian, mengucap janji rumah tangga kemudian menandatangani buku berlogo Departemen Agama. Tak ada cincin yang disematkan.
Selesai. Hadirin bubar. Bersiap resepsi nanti malam.
***
Emon merasa kaki-kaki kurusnya tak lagi cukup memiliki daya. Mika pun sama.
Mereka berdua harus duduk dan berdiri berkali-kali. Belum lagi tersenyum memiringkan bibir dan wajah bersama mereka yang mengajak wefie. Tapi mau bagaimana lagi, hadirin masih bergantian datang mengucapkan selamat bahkan ketika resepsinya sudah kehabisan makanan.
Jam sudah masuk pukul 22.30. Malam sudah makin kelam. Hadirin yang mengucap selamat akhirnya berhenti juga. Mika bertambah senang, akhirnya malam pertama juga, cihuui, girangnya dalam hati.
Tapi tidak dengan Emon. Lelaki yang menjadi saksi dingin sepi pos ronda ini kelelahan.
Begitu keduanya tiba di dalam ke kamar, Emon langsung rebah tak sadarkan diri. Masih lengkap dengan pakaian mempelai pria.
“Jiaah, malah tidur,” ketus Mika, sementara setengah bajunya sudah terlepas. Mika kesal. Naik darah. Gairahnya diganti amarah. Digoyang-goyangnya tubuh Emon, tak ada reaksi. Berulang kali sama saja. Emon seperti mati.
Mika makin marah.
“Kamu tidur saja sendiri!”
Mika terus pergi ke kamar Ibunya. Bergabung tidur di sana.
Dalam tidurnya Emon bermimpi sedang berdiri di tengah tanah lapang dengan cambuk di tangan. Di depannya seluruh warga desa dan 1999 kontestan yang kalah berdiri dengan wajah tertunduk. Ketakutan. Peluh memenuhi tubuh mereka. Cemas menggenangi mata mereka.
“Siapa yang mendorong saya ke sungai hari itu? Siapa? Ayo ngaku!”
Suaranya memecah angkasa yang terik. Emon masih marah dan penasaran.
Tamat
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H