Jam sudah masuk pukul 22.30. Malam sudah makin kelam. Hadirin yang mengucap selamat akhirnya berhenti juga. Mika bertambah senang, akhirnya malam pertama juga, cihuui, girangnya dalam hati.
Tapi tidak dengan Emon. Lelaki yang menjadi saksi dingin sepi pos ronda ini kelelahan.
Begitu keduanya tiba di dalam ke kamar, Emon langsung rebah tak sadarkan diri. Masih lengkap dengan pakaian mempelai pria.
“Jiaah, malah tidur,” ketus Mika, sementara setengah bajunya sudah terlepas. Mika kesal. Naik darah. Gairahnya diganti amarah. Digoyang-goyangnya tubuh Emon, tak ada reaksi. Berulang kali sama saja. Emon seperti mati.
Mika makin marah.
“Kamu tidur saja sendiri!”
Mika terus pergi ke kamar Ibunya. Bergabung tidur di sana.
Dalam tidurnya Emon bermimpi sedang berdiri di tengah tanah lapang dengan cambuk di tangan. Di depannya seluruh warga desa dan 1999 kontestan yang kalah berdiri dengan wajah tertunduk. Ketakutan. Peluh memenuhi tubuh mereka. Cemas menggenangi mata mereka.
“Siapa yang mendorong saya ke sungai hari itu? Siapa? Ayo ngaku!”
Suaranya memecah angkasa yang terik. Emon masih marah dan penasaran.