Jum selalu datang ke warung Karto, memesan bakso dan berlama-lama duduk. Semangkuk bisa dihabiskan sejam sembari diam-diam mencuri pandang. Jum memang naksir berat.
Sejak Karto pertama datang ke desa mereka, Jum sudah jatuh hati. Waktu itu, sekitar dua tahun yang lewat, Karto datang seorang diri dari desa yang jauh. Desa Karto dihajar bencana longsor. Keluarganya meninggal. Tinggal dia sebatang kara.
Karto pernah bekerja di kota sebagai pelayan di warung bakso. Pekerjaan pelayan yang menyelamatkan hidupnya ketika bencana datang mengambil keluarganya tanpa tersisa.
Setahun pertama Karto menumpang tinggal di masjid. Hidup dari rasa iba warga yang mengantarkan makanan atau mengajaknya makan di rumah. Karto juga berperilaku baik, sering membersihkan masjid juga selalu siap jika diajak membantu di rumah warga desa. Mereka jadi sayang padanya.
Memasuki tahun kedua, Karto berpikir untuk mandiri. Keputusan ini didiskusikan dengan Juki.
“Aku ingin mandiri, Ki.”
“Itu bagus, tapi bagaimana caranya? Kau bisa kerja apa?”
“Aku akan berdagang bakso saja. Aku pernah lama bekerja di warung bakso.”
“Terus modalnya dari mana?”
“Itu masalahnya Ki. Aku tak punya tabungan di bank. Hasil kerjaku selalu kukirim ke ibu.”
Juki lantas teringat pada Jum. Ayah Jum adalah petani yang berhasil. Sawahnya luas dan jarang gagal panen. Ia juga punya usaha kontrakan di kota. Dan juga ia tidak memiliki watak lintah darat. Lagi pula, Juki sudah tahu kalau Jum jatuh hati pada Karto. Barangkali Jum bisa membantu membujuk ayahnya agar meminjamkan modal.