Ding Hu, dalam imajinasi Sammo Hung, juga mewakili upaya realisasi citra hero yang sejenis Asterix ke film.
Ding Hu bertubuh tambun dan tua dimana di dalam atribut fisikalnya itu terpendam duka masa lalu yang terus hidup dan menemani hari-harinya yang sepi. Ia terjebak dalam perseteruan mafia juga karena hendak mengambil kembali cinta dan harapan yang telah lama mati karena kehilangan cucunya. Ia seolah sedang melakukan “penebusan dosa” saja.
Spirit "penebusan dosa" masa lalu ini membuat penonton melihat kembali peristiwa hidup manusia yang mengalami pasang surut dan jatuh bangun berkali-kali. Beberapa bisa sukses bangkit melewati surut dan jatuh, beberapa lagi hancur lebur berantakan di dalam pusarannya. Pilihannya memang ada pada keberanian bertindak melawan kejatuhan, bukan lari.
Kontruksi narasi yang seperti ini jelas paralel dengan kenyatan dunia sosial sehari-hari. Yakni tentang usaha manusia untuk memperjuangkan dan menjaga hal-hal yang merawat cinta, gairah dan harapan-harapan idealistiknya. Inilah nilai yang bekerja di balik tindakan-tindakan berani dan tiada mengenal putus asa.
Satu lagi yang penting diperhatikan adalah sikap terbuka pada dunia yang sedang berjalan.
Maksud terbuka disini adalah kesediaan menerima situasi yang hadir di depan mata, situasi yang tercipta oleh hubungan-hubungan sosial dari lingkungan sekitar. Situasi yang menawarkan pengalaman atau ajakan untuk melibatkan diri, bukan bersembunyi bersama kesepian rasa bersalah dari masa lalu.
Demikianlah My Beloved Bodyguard, sebuah film sederhana yang menjauhkan pikiran dari citra hero menjemukan. Film yang tidak meledak di pasaran namun tetap memberi pesan yang baik. Khususnya kepada perindu hero yang sempurna, film ini hanya mau bilang sudahlah, lupakan!
Salam jelang siang K'ers.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H