Banyak manusia yang terpuruk dalam sesal tiada berujung karena masa lalu yang dipenuhi kesalahan atau duka kehilangan yang seolah abadi. Padahal ia telah jauh berjalan, paling tidak dalam ukuran kronologi waktu, namun ternyata hanya sebatas perpindahan fisikal semata. Bukan perpindahan kesadaran juga pengertian. Manusia jenis ini adalah mereka yang gagal move on dalam istilah kekinian kita.
Film My Beloved Bodyguard (April 2016) yang dibesut Sammo Hung, aktor laga kawakan di film-film silat, berkisah seperti begitu. Tentang seorang kakek mantan pasukan elit Republik Tiongkok yang kehilangan cucunya dan berpuluh tahun meratapi kesalahannya dengan hidup di sebuah desa di pinggiran. Bagaimana tidak, sebagai elit pasukan khusus, karirnya mentereng dengan daftar kesuksesan mengawal tamu-tamu elit (VVIP) Negara. Sedang menjaga cucu perempuannya saja, ia gagal.
Hidup sendiri dan jauh dari kasih sayang keluarga juga tawaran kasih sayang yang secara genit menawarkan diri untuk berbagi sedikit kebahagian di masa tuanya. Ding Hu, nama kakek yang diperankan oleh Sammo Hung, juga merelakan tubuh tuanya mengalami penurunan fungsi-fungsi biologis seperti secara perlahan menjadi pikun bersama penyesalan masa lalu akan cucunya yang hilang. Singkat kesaksian, Ding Hu hidup bersama fisik dan hati yang merapuh setiap hari.
Tapi, kita tahu, hidup berjalan. Hidup selalu menawarkan pengalaman baru. Seperti kata aktris dan "sex simbol" Amerika di tahun-tahun 1930-an, Mae West, You only live once, but if you do it right, once is enough! Atau seperti kata-kata Chairil Anwar: sekali berarti sesudah itu mati.Â
Ding Hu mendapatkan tawaran atau ajakan pengalaman itu di sisa masa tuanya. Ia bertemu seorang anak perempuan yang hidup bersama ayahnya yang brengsek. Ayah brengsek, diperankan Andy Lau, yang suka berjudi dan berhutang tanpa pernah bisa mengembalikan hingga akhirnya menjeratnya dalam perseteruan mafia local dengan Rusia. Perseteruan yang membahayakan anak perempuan satu-satunya yang sempat akrab dengan Ding Hu dan mengembalikan spirit hidupnya yang redup karena kehilangan cucunya.
Perseteruan itu sendiri kemudian merampas hidup si ayah secara bengis. Dari sini, kita sudah bisa menebak endingnya: Ding Hu yang renta namun memiliki sisa kemampuan membunuh ala elit pasukan khusus tampil sebagai penyelamat; sebagai hero. Namun keheroan Ding Hu jangan dibayangkan dalam citra yang sangat sakti. Yakni dengan membabat habis keberadaan mafia dan menegakkan tertib sosial kota tersebut.
Kehilangan dan "Penebusan Dosa"
Saya menyimak My Beloved Bodyguard dengan terlebih dahulu membuang kategori yang terus mengendap di kepala. Kategori yang dibentuk oleh film bertema pasukan khusus yang diperankan Jet Lee dulu, judulnya Bodyguard from Beijing (1994).
Di versi Jet Lee, bodyguard adalah hero yang sempurna. Memiliki kemampuan melumpuhkan musuh dengan efektif juga daya kawal yang super teliti lagi ketat. Yang kemudian mengalami jatuh cinta pada subjek yang dikawalnya, pacar seorang pengusaha penting. Romansa inilah yang terus terbayang-bayang. Tapi percayalah, tidak sampai melahirkan andai-andai yang konyol, misalnya andai saya pasukan khusus, masih bujang, dan mengawal anak perempuan presiden Jokowi. Hmmmm..(#mintadikeprukPaspamres!!)
Citra hero seperti ini telah memuakkan, apalagi pada era seperti sekarang dimana produksi kepalsuan mudah muncul dari mana saja bersama kelatahan yang mudah ramai. Saya sendiri lebih suka citra hero yang retak, seperti Asterix yang pernah dianalisis Goenawan Mohamad.
Asterix, bagi yang pernah membaca komiknya, bukanlah sosok tinggi besar, atletis, mantan pasukan khusus, ganteng dan cool. Berbeda ibarat langit cerah dan bumi paska bencana, Asterix adalah wakil dari sosok yang pendek, jelek, warga desa, namun pejuang kemerdekaan.