Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

The Emotions

5 Juli 2016   00:10 Diperbarui: 5 Juli 2016   00:20 3
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saya menemukan lelaki itu. Menemukan, bukan menjumpai.

Pada sebuah rak buku di Gramedia. Ia melepas kacamatanya yang tebal, mengusap matanya yang basah.

“Ada apa, Pak?”

Dia diam saja. Ujung mantel yang menutup tubuhnya dipakai mengusap pula hidungnya yang isak.

“Bapak siapa?” tanyaku. Penasaran. Seorang lelaki separuh baya dengan mantel, kaca mata tebal dan rambut yang licin disisir menangis di depan rak buku. Di negeri tropis, orang gemar membakar buku tanpa perlu tahu isinya lebih dahulu. Lelaki ini kok malah menangis?

Dia diam, tetap membisu. Ganti saya yang cemas. Jadi saya pergi mencari petugas. Selekas mungkin kembali dengan seorang Satpam.

“Bapak kenapa?” tanya Satpam. Saya di sampingnya, menunggu jawab.

Masih diam juga. Tapi kali ini tidak seperti tadi. Sudah tidak sedih di depan rak buku.

“Tolong panggilkan petugas buku,” pintanya tiba-tiba.

“Petugas buku?”

“Iya, petugas yang memajang buku di rak ini.”

Satpam itu lalu bergegas. Saya masih berdiri di posisi yang sama. Tak lama, seorang karyawati datang tergopoh-gopoh.

“Ada yang bisa saya bantu Pak?”

“Kamu petugas buku? Yang memajang The Emotions di situ?” tanyanya.

The Emotions...iya, benar Pak, saya. Ada apa ya?”

“Tolong kumpul semua buku The Emotions. Saya beli semua,” katanya kemudian. Sedihnya sudah pergi. Kini ia terdengar gerah. Perubahan suasana hati yang lekas sekali, batin saya.  

“Hanya itu yang tersedia,” kata si karyawati.

“Saya bayar semua.” Sambil mengeluarkan lima lembar seratus ribu rupiah. Karyawati terus berlalu ke meja kasir.  

Saya makin penasaran. Buku apa yang diborongnya itu. Belum pernah terjadi ada buku yang diborong habis dalam satu waktu. Kecuali ditarik penerbitnya. Atau karena isinya berbahaya, bisa bikin huruhara. The Emotions, apa yang berbahaya dari buku berjudul begitu?

Lelaki itu sepertinya punya pengalaman sendu dengan buku itu, duga saya kemudian. Dia mungkin kesepian. Mungkin juga baru saja dihantam duka yang tidak sederhana. Mungkin juga sebatang kara. Mungkin juga gila...mungkin juga...duga saya kemana-mana.

Lelaki yang kini gerah memasukan buku-buku ke dalam tas kain yang di depannya berpesan tentang gaya hidup hijau itu sikap. Sesudah masuk semua, ia bergegas. Ia melintasi begitu saja saya yang masih penasaran.

“Buku tidak bisa diperlakukan seperti celana jeans. Anda hanya melihat mereknya lalu menempatkan dengan yang sejenis. Tanpa tahu siapa penulisnya, tanpa pernah membaca isinya, Anda hanya memperlakukan buku lebih buruk dari jeans yang dijual di pasar barang impor bekas,” gerutunya sambil melewati saya.

“Tapi kebanyakan buku sekarang tentang cover dan siapa penerbitnya,” jawab saya. Setengah mendesis. Setengah nyinyir.

Saya jadi ingat naskah novel yang terus saja ditolak penerbit. 

Novel saya menutur getir cinta, tema yang terus dicari bukan? Tapi bukan kegetiran sembarang. Ini tentang cinta yang terpisah karena idealisme anak muda yang terlarang pada sebuah negeri yang terus mengampanyekan hak asasi manusia. Anak muda yang sekolahnya dibiayai beasiswa pemerintah namun dibenturkan banyak omongkosong dari kampanye hak asasi. Ia menjadi pemberontak muda yang keras hati. Dan memilih membunuh cinta kekasihnya yang menunggu. Kurang apa coba?

Cinta yang berpisah bukan karena perbedaan status keluarga, ras, dan agama. Ini sudah klise. Tapi tak ada penerbit yang tertarik.

Mereka, para penerbit sialan itu, lebih suka kisah cinta yang muluk dengan puitisasi kata-kata. Puitisasi yang lari dari kenyataan. Kalau tidak, lebay. Selera pasar memang sering merawat irasionalitas!

Lagi pula siapa yang mau tertarik pada penulis novel dengan latar pegiat blog seperti saya? Ah.

Tak disangka jawaban mendesis saya membuat lelaki itu berhenti. Ia memandang dengan seksama.

“Anak muda..hehehe.”

Ia terbaca sedang menertawakan jawaban saya. Atau juga perawakan. Atau wajah saya. Atau pakaian saya. Atau...atau...saya jadi menduga kemana-mana.

“Jean-Paul Sartre,” katanya sambil mengulurkan tangan. Menawarkan perkenalan.

“Ali,” jawab saya. Kaget. Kami berpisah.

Siapa dia? Namanya bukan dari negeri tropis. Apakah dia dari Eropa? Eropa mana? Amerika mungkin? Atau Afrika? Atau dari negara-negara Melanesia? Saya menduga-duga lagi.

Penasaran. Saya pergi ke komputer untuk memeriksa katalog buku. Di kolom pencaharian, saya ketikan Jean Paul Satre. Klik!

Lalu keluar keterangan: Jean-Paul Satre, The Emotions. Stok: habis.

Jadi....?

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun