Satpam itu lalu bergegas. Saya masih berdiri di posisi yang sama. Tak lama, seorang karyawati datang tergopoh-gopoh.
“Ada yang bisa saya bantu Pak?”
“Kamu petugas buku? Yang memajang The Emotions di situ?” tanyanya.
“The Emotions...iya, benar Pak, saya. Ada apa ya?”
“Tolong kumpul semua buku The Emotions. Saya beli semua,” katanya kemudian. Sedihnya sudah pergi. Kini ia terdengar gerah. Perubahan suasana hati yang lekas sekali, batin saya.
“Hanya itu yang tersedia,” kata si karyawati.
“Saya bayar semua.” Sambil mengeluarkan lima lembar seratus ribu rupiah. Karyawati terus berlalu ke meja kasir.
Saya makin penasaran. Buku apa yang diborongnya itu. Belum pernah terjadi ada buku yang diborong habis dalam satu waktu. Kecuali ditarik penerbitnya. Atau karena isinya berbahaya, bisa bikin huruhara. The Emotions, apa yang berbahaya dari buku berjudul begitu?
Lelaki itu sepertinya punya pengalaman sendu dengan buku itu, duga saya kemudian. Dia mungkin kesepian. Mungkin juga baru saja dihantam duka yang tidak sederhana. Mungkin juga sebatang kara. Mungkin juga gila...mungkin juga...duga saya kemana-mana.
Lelaki yang kini gerah memasukan buku-buku ke dalam tas kain yang di depannya berpesan tentang gaya hidup hijau itu sikap. Sesudah masuk semua, ia bergegas. Ia melintasi begitu saja saya yang masih penasaran.
“Buku tidak bisa diperlakukan seperti celana jeans. Anda hanya melihat mereknya lalu menempatkan dengan yang sejenis. Tanpa tahu siapa penulisnya, tanpa pernah membaca isinya, Anda hanya memperlakukan buku lebih buruk dari jeans yang dijual di pasar barang impor bekas,” gerutunya sambil melewati saya.