“Tapi kebanyakan buku sekarang tentang cover dan siapa penerbitnya,” jawab saya. Setengah mendesis. Setengah nyinyir.
Saya jadi ingat naskah novel yang terus saja ditolak penerbit.
Novel saya menutur getir cinta, tema yang terus dicari bukan? Tapi bukan kegetiran sembarang. Ini tentang cinta yang terpisah karena idealisme anak muda yang terlarang pada sebuah negeri yang terus mengampanyekan hak asasi manusia. Anak muda yang sekolahnya dibiayai beasiswa pemerintah namun dibenturkan banyak omongkosong dari kampanye hak asasi. Ia menjadi pemberontak muda yang keras hati. Dan memilih membunuh cinta kekasihnya yang menunggu. Kurang apa coba?
Cinta yang berpisah bukan karena perbedaan status keluarga, ras, dan agama. Ini sudah klise. Tapi tak ada penerbit yang tertarik.
Mereka, para penerbit sialan itu, lebih suka kisah cinta yang muluk dengan puitisasi kata-kata. Puitisasi yang lari dari kenyataan. Kalau tidak, lebay. Selera pasar memang sering merawat irasionalitas!
Lagi pula siapa yang mau tertarik pada penulis novel dengan latar pegiat blog seperti saya? Ah.
Tak disangka jawaban mendesis saya membuat lelaki itu berhenti. Ia memandang dengan seksama.
“Anak muda..hehehe.”
Ia terbaca sedang menertawakan jawaban saya. Atau juga perawakan. Atau wajah saya. Atau pakaian saya. Atau...atau...saya jadi menduga kemana-mana.
“Jean-Paul Sartre,” katanya sambil mengulurkan tangan. Menawarkan perkenalan.
“Ali,” jawab saya. Kaget. Kami berpisah.