Di desa manusia terikat dalam ikatan kekerabatan yang relatif masih hangat dan merawat solidaritas. Di desa manusia juga masih dimungkinkan merawat kesadarannya dalam ritus-tirus religo-budaya yang menjaga ikatan nilai subyektifnya. Ini cara pandang tradisional.
Dengan kata lain, pada hidup di desa, manusia bisa menenangkan sejenak pikiran-pikirannya yang “dipaksa mengembara” oleh kehidupan kota yang termodernisasi.
Kalau mengikuti pengertian ini maka mudik adalah sejenak usaha untuk keluar dari "kutukan pikiran yang mengembara".
Dengan kembali ke desa, mudikers berusaha lagi menyambungkan kesadarannya yang lelah karena di-vermak setiap hari oleh disiplin manusia modern (cara pandang modernisme).
Tesis pikiran mengembara (homeless mind) dimunculkan oleh Peter Berger manakala beliau membahas konsekuensi-konsekuensi modernisasi terhadap kesadaran manusia.
Pikiran manusia harus mengadaptasikan dirinya pada disiplin modern yang memberi konsekuensi pada menipisnya ikatan-ikatan juga kesadaran berbasis tradisi (desa).
Dalam akibat yang kompleks, Weber sudah lebih dulu bilang modernisasi dalam konteks perluasan rasionalisasi membuat hilangnya daya pesona (magis) dunia.
Mudik jelas adalah ritus yang tidak efektif dan efisien. Mudik sebagai ritus budaya bahkan hidup dalam ketegangan antara rindu dan duka.
Tak jarang para mudikers menghabiskan uang dalam jumlah banyak sementara itu dikumpulkannya dengan cara yang tidak mudah.
Mudik juga sesuatu yang bukan saja melelahkan tetapi juga rentan menjadi tragedi. Walau harus berdesak-desakan di kereta, mudik tetap saja ramai. Walau harus berlelah di perjalanan, mudik tak pernah sepi di jalanan.
Pulang ke rumah, kampung halaman, kumpul keluarga jauh lebih bermakna. Resiko apapun akan ditempuhnya.