Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ritus Mudik dan yang "Politis"

4 Juli 2016   11:57 Diperbarui: 4 Juni 2019   10:22 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemacetan mengular sepanjang 18 kilometer di ruas tol Pejagan - Brebes Timur, Jawa Tengah, Jumat (01/07/2016). Puncak arus mudik diperkirakan terjadi pada H-3 lebaran. | KOMPAS IMAGES / KRISTIANTO PURNOMO

Selain menghentikan pikiran yang mengembara di atas, kita boleh juga masuk pada pengertian kedua yang sama fundamental. 

Yakni ritus mudik adalah siasat budaya yang berusaha melawan “kehampaan makna” karena budaya modern (urban) tadi. 

Kehampaan makna hidup di kota-kota. Kehampaan yang hadir sebagai konsekuensi radikal dari perluasan rasionalitas. Kehampaan yang membuat manusia terjerembab dalam stress sosial dan mudah meletupkan diri pada kekerasan, khususnya mereka yang menjadi "alas kaki" peradaban kota.

Kehampaan yang tergambar dalam puisi  Wiji Thukul berjudul Kota:

bahasa sibuk adalah bahasa kota
Yang tak bisa diajak bicara
bahasa sibuk adalah bahasa untung-rugi
bahasa sibuk adalah bahasa kita
bahasa cinta sudah kita jual
hidup jadi toko serba-otomatis
sulit terharu, lupa meditasi

[Solo, 84]

Proses politis dalam mudik itu adalah usaha untuk tidak sepenuhnya “ditaklukan yang modern”: terpasung dalam keindividuan yang sendiri-sendiri. Atau berusaha keluar sejenak dari keterikatan solidaritas sosial yang organik: berbasis kalkulasi posisi, peran atau fungsi-fungsi. 

Termasuk juga berusaha untuk menunda sebentar hidup yang dipacu oleh disiplin kerja yang serba efektif dan efisien (instrumentalis). 

Usaha menolak kehampaan makna yang dirawat oleh keseharian ruang urban.

Demikianlah. 

Mudik adalah sebuah proses politis di ranah budaya. 

Selamat menyambut Hari Raya Idul Fitri K’ers. Mohon Maaf Lahir Batin.

***  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun