Selain menghentikan pikiran yang mengembara di atas, kita boleh juga masuk pada pengertian kedua yang sama fundamental.
Yakni ritus mudik adalah siasat budaya yang berusaha melawan “kehampaan makna” karena budaya modern (urban) tadi.
Kehampaan makna hidup di kota-kota. Kehampaan yang hadir sebagai konsekuensi radikal dari perluasan rasionalitas. Kehampaan yang membuat manusia terjerembab dalam stress sosial dan mudah meletupkan diri pada kekerasan, khususnya mereka yang menjadi "alas kaki" peradaban kota.
Kehampaan yang tergambar dalam puisi Wiji Thukul berjudul Kota:
bahasa sibuk adalah bahasa kota
Yang tak bisa diajak bicara
bahasa sibuk adalah bahasa untung-rugi
bahasa sibuk adalah bahasa kita
bahasa cinta sudah kita jual
hidup jadi toko serba-otomatis
sulit terharu, lupa meditasi
[Solo, 84]
Proses politis dalam mudik itu adalah usaha untuk tidak sepenuhnya “ditaklukan yang modern”: terpasung dalam keindividuan yang sendiri-sendiri. Atau berusaha keluar sejenak dari keterikatan solidaritas sosial yang organik: berbasis kalkulasi posisi, peran atau fungsi-fungsi.
Termasuk juga berusaha untuk menunda sebentar hidup yang dipacu oleh disiplin kerja yang serba efektif dan efisien (instrumentalis).
Usaha menolak kehampaan makna yang dirawat oleh keseharian ruang urban.
Demikianlah.
Mudik adalah sebuah proses politis di ranah budaya.