Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ritus Mudik dan yang "Politis"

4 Juli 2016   11:57 Diperbarui: 4 Juni 2019   10:22 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di desa manusia terikat dalam ikatan kekerabatan yang relatif masih hangat dan merawat solidaritas. Di desa manusia juga masih dimungkinkan merawat kesadarannya dalam ritus-tirus religo-budaya yang menjaga ikatan nilai subyektifnya. Ini cara pandang tradisional. 

Dengan kata lain, pada hidup di desa, manusia bisa menenangkan sejenak pikiran-pikirannya yang “dipaksa mengembara” oleh kehidupan kota yang termodernisasi.

Kalau mengikuti pengertian ini maka mudik adalah sejenak usaha untuk keluar dari "kutukan pikiran yang mengembara". 

Dengan kembali ke desa, mudikers berusaha lagi menyambungkan kesadarannya yang lelah karena di-vermak setiap hari oleh disiplin manusia modern (cara pandang modernisme).

Tesis pikiran mengembara (homeless mind) dimunculkan oleh Peter Berger manakala beliau membahas konsekuensi-konsekuensi modernisasi terhadap kesadaran manusia. 

Pikiran manusia harus mengadaptasikan dirinya pada disiplin modern yang memberi konsekuensi pada menipisnya ikatan-ikatan juga kesadaran berbasis tradisi (desa). 

Dalam akibat yang  kompleks, Weber sudah lebih dulu bilang modernisasi dalam konteks perluasan rasionalisasi membuat hilangnya daya pesona (magis) dunia.

Mudik jelas adalah ritus yang tidak efektif dan efisien. Mudik sebagai ritus budaya bahkan hidup dalam ketegangan antara rindu dan duka.  

Tak jarang para mudikers menghabiskan uang dalam jumlah banyak sementara itu dikumpulkannya dengan cara yang tidak mudah. 

Mudik juga sesuatu yang bukan saja melelahkan tetapi juga rentan menjadi tragedi. Walau harus berdesak-desakan di kereta, mudik tetap saja ramai. Walau harus berlelah di perjalanan, mudik tak pernah sepi di jalanan. 

Pulang ke rumah, kampung halaman, kumpul keluarga jauh lebih bermakna. Resiko apapun akan ditempuhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun