Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Catatan Perjalanan] Saya dan "Jiwa Udik"

29 Juni 2016   13:50 Diperbarui: 30 Juni 2016   02:50 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="foto bareng | dok.pribadi."][/caption]

28 Juni 2016. Bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Sesudah check in lalu melewati jalur periksa barang dan tubuh, saya duduk di sebuah bangku panjang yang kosong, di samping sebuah warung yang berhadapan dengan smoking room. Menatap lurus ke depan, beberapa penumpang sedang duduk dan sibuk dengan gadget. Ah, runggu tunggu bandara selalu sama dimana-mana. Orang sibuk dengan gadget-nya masing-masing, batin saya.

Saya kemudian berjalan menuju para penumpang yang sibuk dengan gadget itu, belok kanan, lalu masuk ke dalam ruang tunggu keberangkatan. Melihat jam di dinding ruang tunggu, masih ada sekitar tiga puluh menit lagi. Masih lama, sepertinya masih sempat mengisi batre gadget barang sebentar, batin saya lagi.

Di sebelah kursi duduk saya, ada charger box yang menyisakan satu lubang colokan. Sepertinya hanya satu-satunya. Seorang pria botak berdiri di sampingnya dengan gadget, mungkin membalas pesan, membaca berita atau menulis status. Sederet dengan charger box ada kursi panjang dengan seorang pria yang duduk memangku personal computer. Di sebelahnya seorang pria memandang layar gadgetnya. Wajahnya murung.

Pemandangan seperti ini membuat saya batal mengisi batre. Entah mengapa, saya merasa lebih baik mengisi batre ruang tunggu Cengkareng saja.

Sekitar tiga puluh menit kemudian, pengumuman naik ke pesawat disampaikan petugas informasi bandara. Menggendong tas Deuter hitam dan tas pinggang kecil, saya berjalan lekas-lekas bergabung dengan antrian pintu keluar. Tak ada belalai gajah di bandara sesederhana Tjilik Riwut jadi penumpang akan berjalan melalui landas pacu.

Keluar dari antrian, hanya ada satu perintah di dasar hati. Sembari melihat lembar boarding pass, perintah tersebut mengatakan segera menuju kursi nomor 20B. Saya melihat ke depan dan terkejut. Ada rombongan berjumlah sekitar dua puluh orang yang berjejer dalam dua kelompok. Mereka membelakangi papan nama bandara dan berfoto bersama. Tak kelihatan mereka terburu-buru. Santai saja. Hihihi, saya senyum-senyum sendiri.

Bukan rombongan itu yang aneh, sayalah yang aneh. Memangnya bergegas mengejar apa? Toh saya hanya membawa satu tas gendong. Ditambah lagi saya baru saja keluar dari pinggiran sungai dan hutan, sebuah tempat dimana irama hidup terasa lambat dan begitu-begitu saja. Mengapa sekarang seperti baru keluar dari gerbong KRL di stasiun Tebet?

Saya tidak ingin berdesak-desakan ketika menyimpan tas di bagasi kabin. Sesudah itu saya ingin duduk dan membaca Lima Keluarga Miskin Oscar Lewis sampai tertidur. Waktu tempuh satu jam empat puluh lima menit kalau dilewati dengan pikiran yang melayang akan terasa menyiksa. Inilah pembelaan diri, rasionalisasi diri kepada diri yang protes dengan langkah bergegas tadi.

Meniti anak tangga hingga pintu pesawat bagian belakang, seorang pramugari menyambut dengan ucapan selamat siang. Saya hanya mengangguk sambil berlalu. Selamat siang yang prosedural, angguk saya juga prosedural. Demikian dalam hati saya. Padahal bisa jadi tidak prosedural, siapa yang tahu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun