Tapi anehnya dia tidak juga berjalan menyusuri lorong hinga ke pintu keluar. Dia hanya duduk.
“Belum keluar?” tanya saya.
Dia diam saja, malah menunduk, menghindari bertatap mata. Dia juga terlihat terus menoleh ke belakang, seperti menunggu seseorang yang dikenal. Saya seperti melihat ada cemas yang dia sembunyikan. Jangan-jangan benar anak ini pertama kali naik pesawat. Ke Jakarta pula.
Jadi saya memutuskan keluar duluan. Sesudah memanggul tas, langkah saya berjalan pelan menjumpai pintu keluar yang disambut ucap terimakasih pramugari yang sama: prosedural.
Sesampai di bangunan terminal, saya melihat ruang kedatangan yang berbeda seperti langit dengan bumi. Tjilik Riwut, pemimpin perjuangan rakyat Kalimantan Tengah adalah kolega perjuangan Soekarno dan Hatta. Soekarno juga sangat menghormatinya. Tapi lihatlah pembangunan sesudah era merdeka?
Sesudah melapor ke petugas Lion Air, saya berjalan ke arah kanan, mencari ruang tunggu keberangkatan A6. Sebulan lalu saya berada koridor yang menghubungkan ruang check in dengan ruang tunggu keberangkatan, saat itu relatif sepi. Sekarang ini ramai sekali. Ada penumpang yang bahkan tidur di lantainya yang dingin. Benar-benar menjelang Lebaran.
Saya bergegas naik ke lantai dua dengan mengikuti eskalator. Tiba di lantai dua, pikiran terus berubah. Baru ingat jika di dompet hanya tersisa selembar lima puluh ribuan. Sementara pada jam penerbangan berikutnya yang bertepatan saat berbuka puasa, jika tidak membeli bekal, saya sama dengan menyiksa diri sendiri. Ini Lion Air Bung! Saya harus mencari ATM.
Saya lalu turun lagi ke lantai bawah dan berjalan menuju ruangan check in. Barangkali di situ lebih dekat ke mesin ATM. Sambil berjalan pelan dan celingak-celinguk karena mencari pintu yang bisa mempercepat keluar, seorang petugas troli yang sudah tua berkata,
“mau keluar lewat sana Mas. Bukan disini.”
“Saya mencari mesin ATM Pak,” jawab saya.
“Iya, keluar lewat pintu kedatangan, ATMnya di luar. Baru masuk lagi.”