Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

[Catatan Perjalanan] Saya dan "Jiwa Udik"

29 Juni 2016   13:50 Diperbarui: 30 Juni 2016   02:50 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lorong di dalam tubuh pesawat Lion Air JT 086 masih lengang. Langkah kaki makin bergegas. Sesudah mengambil buku Oscar Lewis, menyimpan tas Deuter, saya melihat boarding pass, mencocokan dengan angka di atas tempat duduk. Saya duduk di tengah rupanya.

Belum sempat saya duduk, seorang anak muda berusaha mendahului masuk. Ia langsung duduk dekat jendela, memasang headset dan memijat layar  Samsungnya yang touchscreen. Saya jadi memperhatikan tingkah lakunya, anak ini lebih bergegas dari saya. Atau dia khawatir tempat duduk di jendela akan diambil orang lain ya, hehehe, batin saya lagi.

Saya kemudian duduk sambil membuka bagian kedua buku yang sangat dalam dengan pelukisan etnografi orang miskin tersebut. Kali ini kisah keluarga Gomez.

Belum lagi membaca paragraf pertama, pemuda yang duduk dekat jendela mengusik perhatian saya. Ia mendorong badannya ke belakang dan mengangkat lengan kursi. Berulangkali ia melakukannya. Mungkin hendak melonggarkan sandaran kursi agar duduknya bisa lebih rileks. Tapi caranya salah. Sampai kursinya patah pun tidak akan berhasil, hihihi, ketawa lagi saya dalam hati. Yang kedua, anak muda ini lupa jika pada saat pesawat bersiap take off sandaran kursi harus rapat. Dia lupa atau...?

Dia pasti baru naik pesawat, curiga saya.

Saya mendadak kepo. Saya perhatikan kepala dan tubuh pemuda itu.

Rambut di kepala anak muda ini dipotong dengan memgambil sisi-sisi terluar dan membiarkan bagian dalam lebih tebal. Di Papua dulu, potongan seperti ini dibilang gaya Pantat Kapal. Kepala terlihat seperti menggunakan tempurung. Saya jadi ingat komentar presiden Jokowi atas potongan rambut Kaesang. Kepala tempurung, hehehe.

Kemudian mata saya perhatikan baju, celana jeans hingga sepatu. Dari warna bahan juga merek, saya tahu hanya beli di pasar bukan mall atau outlet bermerek. Cukup sampai disini saja. Mari kembali ke Oscar Lewis, batin saya.

Sedang menuju asik membaca, tetiba duduk lagi seorang muda di kursi sebelah kanan. Kali ini badannya lebih besar. Potongan rambutnya titip ala militer. Menggunakan jaket dan celana blue jeans yang dari pudar warnanya bahkan tidak sekelas Levi’s KW 3. Ia mengeluarkan gadget merek Samsung yang sejenis dengan punya anak muda “kepala tempurung” tadi. Dia melihat layarnya sebentar lalu memasukkan ke dalam kantung jaket. Lantas berbicara dengan penumpang di sebelahnya.

Saya mendadak kepo kedua kali. Sembari pura-pura membaca, saya perhatikan perawakannya. Sangat mungkin pemuda ini pekerja di kebun sawit atau tambang. Pekerja rendahan. Bisa jadi juga dia dan rombongannya tadi yang berfoto di landas pacu bandara. Mereka pulang lebaran rupanya. Orang-orang kecil yang mudik.

Sebaiknya saya serius kembali membaca. Serius yang betul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun