Astagfirullah. Mengapa saya tidak terpikir seperti itu? Bandara sibuk ini bukan pertama kali saya datangi. Ruang tunggu ini bukan pertama kali saya lalui.
Sembari balik arah dan berjalan mengikuti iringan penumpang yang baru datang, saya ingat dua rekan duduk di pesawat tadi. Saya melihat satu yang mengikat kami bertiga. Ada mentalitas yang tersembunyi dan menyatukan kami. Mentalitas orang-orang udik yang "menyempurnakan posisi" sebagai orang kecil.
Orang-orang yang di bawah sadarnya selalu ndeso, kampungan. Selalu memiliki rasa cemas ketika datang ke kota-kota besar karena diidap perasaan asing. Selalu memiliki rasa takut akan membuat kesalahan yang ditertawakan karena tidak mengerti prosedur teknologi tertentu. Selalu merasa khawatir akan dikerjai orang-orang yang berlagak manis dan ramah di depan pintu keluar yang sesungguhnya sedang mencari kelebihan rupiah atas kebingungan kami.Â
Orang-orang udik adalah jiwa-jiwa yang tumbuh di pinggiran. Hidup dalam satu negara nasional dengan ketimpangan yang masih marak juga janji kemajuan yang sering menyembunyikan pengkhianatan. Ada yang bertahan dan tidak sedikit yang kehilangan kewarasan. Namun tetap cinta Indonesia.
Â
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H