Setahun ini S Aji juga entah berada dimana. Tak pernah lagi muncul di kampus. Tak pernah meledeknya di perpustakaan. Raisa juga tak pernah ambil peduli. Tak pernah pergi mencari. Lelaki yang seperti pengendali angin, buat apa dicari?
Lagi pula, antara dirinya dengan S Aji tidak memiliki konsensus rasa bukan? Dan yang paling penting, ketiadaan S Aji adalah bantuan yang dibutuhkan dalam memperkukuh sikap-sikap rasionalnya.
“Ayo berangkat,” teriak Maudy memecah kesibukan Raisa. Maka berangkatlah mereka.
***
Pukul empat sore, rombongan tiba di lokasi KKN. Raisa langsung menuju posko. Ia selalu lekas muak dengan sambutan basa-basi pemerintah desa juga dosen pembimbing. Lebih baik aku berkeliling desa ini, batinnya.
Lima belas menit kemudian, langkah ringan Raisa mulai menelusuri tepian sungai yang tenang. Dengan tas punggung kecil, Raisa sengaja mencari tempat yang teduh untuk menghabiskan satu teks karangan Siẑek yang membahas filsafat subyek. Raisa menemukan sebuah dermaga yang sepi. Ada beberapa bangku panjang yang mulai berdebu. Ia mendudukan tubuhnya lalu berkonsentrasi penuh. Terbenam dalam keheningan sungai.
Sepuluh menit berlalu.
“Hoooooi, Hanah Arendt.....”
Raisa yang belum lama terbenam dalam teks Siẑek terkejut bukan main. Hanya satu manusia yang memanggilnya dengan nama filsuf perempuan yang menulis asal usul totalitarianisme itu.
Di pinggir sungai itu, sesosok laki-laki sedang berdiri memegang dayung. Tubuhnya tampak lebih kurus dan rambutnya lebih panjang. Dengan kemeja flanel, ia seperti pendaki yang tersesat.
“Aji?”