“Okelah, jadi kamu gak kangen lelaki pengendali angin ini?”
Raisa diam saja, matanya dibenamkan kedalam teks yang belum lagi beranjak dari pengantar.
“Saya ke sini untuk melamar kamu, bukan mengajak kamu pacaran. Tapi saya batalkan. Saya menjadi yakin bukan kamu. Rasionalisme-mu yang sombong ternyata belum berubah. Setahun ini aku menghindarimu untuk membiarkan rasionalismemu berdialog dengan sisi dirimu yang emosional. Ternyata, malah makin mengerikan,” terang S Aji kemudian.
“Saya memutuskan akan melamar Maudy saja. Sikapnya yang emosif dan puitis jauh lebih bisa menahan angin seperti saya, Raisa.”
“Apaa? Tapi kau dan Maudy tidak pernah pacaran. Bagaimana bisa?”
“Saya tidak butuh pacaran untuk membentuk kesesuaian juga merasionalisasi kedalaman rasa. Saya hanya perlu tahu pada jiwa seperti apa angin rindu selalu menuntun saya pulang, merawat emosi dan meledakkan passion menjalani hidup.”
“Jiiiiiiiiii....sejak kapan di sini? Kamu ngapain disini, Ji?”
Suara Maudy mendadak hadir di dermaga sepi. S Aji tersenyum. Ia mendengar panggilan rindu yang emosional dari Maudy, panggilan yang dinantinya dari Raisa setahun terakhir.
“Saya datang untuk melamarmu, Dy.”
Maudy dan Raisa saling menatap. Maudy tertawa terbahak-bahak. Raisa terperangah tiada menyangka.
“Kamu memang tak terduga. Pacaran tidak, tiba-tiba melamar,” kata Maudy masih dengan tertawa. Sementara Raisa masih tidak percaya. Ia merasa ini bukan bercanda. Atau sejenis taktik ledekan untuk meremukkan sikapnya yang rasional.