[Mereka yang menggeluti pikiran-pikiran besar juga melakukan kekeliruan-kekeliruan besar! - Martin Heidegger]
***
Raisa menyadari betul bahwa ia mulai terbenam dalam pertentangan diri yang melelahkan. Sebagai mahasiswi filsafat tingkat empat, seharusnya kondisi seperti ini sudah lama dihancurkannya. Tapi sampai detik dimana ia mempelajari kritisisme filsafat Modern, pada hatinya S Aji tidak pernah benar-benar pergi.
S Aji, mahasiswa sosiologi yang seperti Ang dalam kartun Avatar, sang penguasa angin: datang meneduhkan gerah lalu tetiba pergi tanpa pesan. Sesekali seperti puting beliung, sekejap sepoi-sepoi selembut teduh yang membelai dedaunan nyiur.
“Kau terlalu tunduk pada rasiomu, Raisa,” ledek S Aji suatu waktu. Di perpustakaan kampus.
Raisa makin kesal. Mahasiswi filsafat kok gak rasional, malu sama Hannah Arend, batinnya lagi.
“Kenapa? Malu sama Hannah Arendt? Wakakaka, Arendt bertekuk lutut pada pesona tua Heiddeger,”ledek Aji bersama tawa yang memecah langit.
“Sialan. Gak lucu!” maki Raisa setengah mendesis.
“Huahahahaha.”
Begitulah S Aji, selalu bisa meremuk dirinya. Menjengkelkan tapi ngangeni. Bikin keki tapi menikam rindu. Celakanya, S Aji seolah tahu ia berada dalam posisi itu. Bukan saja memahami jika memiliki kuasa, ia juga mahir mempermainkan suasana hati Raisa seringan pendulum. Sialan, serapah Raisa jika terkenang posisinya yang seolah tunduk dan taat tak berdaya.
Mengapa kita tidak menyepakati hubungan yang khusus saja? Sepasang kekasih?