Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Petaka Puisi

18 April 2016   23:04 Diperbarui: 18 April 2016   23:23 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam komik Asterix, yang bersetting masyarakat Perancis, ada seorang warga yang merasa dirinya biduan. Karena citra diri seperti ini dia sering mengalami overdosis percaya diri dalam menyanyi dengan lantang sekali sambil memainkan harpa. Tak pernah ia sadari jika nyanyinya telah merusak kenyamanan manusia lain. Nama tokohnya Assurancetourix, karena kelakuannya itu kadang-kadang ia harus disumpal mulutnya atau digantung di pohon agar tidak merusak pesta penduduk desa Galia.

Tokoh sejenis Assurancetourix juga muncul dalam film Perancis berjudul La Pacte des loups (Persaudaraan Serigala) yang dibintangi salah satu aktris Italia favorit saya, Monica Belluci. Sosok itu adalah pujangga yang sering memaksa telinga orang lain mendengarkan suaranya yang cempreng kala membaca puisi yang biasa-biasa saja. Tokoh ini namanya Maxime Des Foreŝt.

Merasa diri sebagai yang terbaik membuat Assurancetorix dan Maxime Des Foreŝt hidup dalam keyakinan mereka sendiri. Tak pernah menyadari jika mereka telah menjadi pengganggu atau lelucon orang banyak. Apa yang dimaknai mereka sebagai ekspresi karya terbaik justru menjadi gangguan yang bising atau lelucon yang tidak pada tempatnya.

Kali ini ada satu cerita seorang pujangga yang mewakili persilangan dua karakter manusia di atas. Seperti Maxime, dia juga memiliki kepercayaan diri yang berlebih dalam membaca puisi. Sedangkan persamaannya dengan Assurancetourix adalah ia menjadi sasaran dari kemarahan telinga-telinga yang terganggu.

Seperti apa kisah pujangga yang mewakili dua karakter fiksi di atas. Mari kita simak bersama.

Pada sebuah panggung peringatan 17 Agustus, aparat RT membuat lomba baca puisi. Puisi yang dibaca haruslah karya sendiri dan menginspirasi kehidupan. Jadi mendaftarlah si tokoh kita ini sesudah mendapat giliran tampil.

[Pook...pook..pook..tepuk tangan mengiringi langkah si tokoh]

(Eheem..eheem..batuk pelan si tokoh..menyetel kecocokan suara dan mic serta tentu saja menebar wibawa dengan membuat suara berat yang ditahan pada rongga kerongkongan, yang terdengar suara tikus kejepit..hiik.hiiik. Kasihan, si tokoh kita ini berpikir dia Soekarno)

“Selamat malam hadirin semua..Merdekaaaa!! (Senyap, tak ada tanggapan hadirin)

“Saya akan membacakan puisi berjudul Bungga Tumbuh di Karang, karya sendiri.”

Makin senyap.

“Eheem..”

Mulailah ia membaca:

Bungga...
Bungga tumbuh di karang laut,
Demikian cintaku, kepadamu selalu
Republik muda, Indonesia namanya

Tidak ada bungga, bunga woiiiii, teriak seorang warga. Tidak ada juga bungga tumbuh di karang kecuali bunga karang, gobloooook, teriak yang lain.

Huuuuuuuuu...seluruh hadirin berteriak..turuuuuuun, teriak mereka lagi..

Turun, turun, turun..makin ramai dan liar suara meminta tokoh kita ini turun. Tentu saja dia tidak akan turun. Dia masih berpikir dirinya Soekarno sih. Dan di bawah panggung sana bukan kumpeni.

Lalu meletuslah kekacauan kecil, kaleng minuman bersoda melayang ke panggung. Disusul botol air mineral. Kerikil dan teman-temannya. Gila masih bertahan juga tokoh kita ini. Bahkan ketika keadaan makin memanas, dengan sangat percaya diri, ia berkata pelan:

Sabar, sabar, sabar
Bungga bisa tumbuh di karang laut
Karena saya yang tanam, bukan kalian yang tanam!

Sesudahnya tokoh kita langsung melompat dari panggung dan lari secepat sonic menuju rumah pak RT. Di depan panggung, massa yang merasa tidak mungkin bunga selain bunga karang tumbuh di karang mengejar hingga tiba pula di teras pak RT.

Pak RT yang baru saja hendak menuju panggung terkejut , keramaian mulai bertumpuk di depan teras rumah.

“Ada apa ramai-ramai kesini?” tanya pak RT

“Orang ini telah membaca puisi yang menghina akal sehat. Masa bunga dibaca bungga. Parahnya lagi, katanya bungga bisa tumbuh di karang,” jawab seorang warga.

Pak RT tersenyum. Sambil mengelus kumisnya yang jarang, ia menjawab ringan.

“Lha apa yang salah. Bungga memang bisa tumbuh di karang, bungga, b-u-n-g-g-a bukan b-u-n-g-a. Cocok kan? Ini namanya kekuatan imajinasi pujangga, harus begitu membacanya.”

Haaaaaaa?? Seluruh warga terpana dan mulai merasa pak RT berpihak. Ow..ow..amarah siap diledakkan.

Menyadari situasi makin gawat, dengan PD-nya pak RT menutup keterangan tambahan dengan berkata "puisi itu sejujurnya saya yang buat lalu dibayar HAKInya sama si peserta. Tidak melanggar ketentuan lomba bukan?"

Oalaah pak RT, minta dikepruk juga..gubraaak...praang...pletaaak...aduuh...aduuh..

Berhati-hatilah dengan puisi coi. Selamat malam, mari tidooor...

 

#Hidup Monica Belluci...

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun