“Karena di dapur yang lusuh itu, Anda lihat dapur yang lusuh itu. Di situ peristirahatan Bapak, Ibu dan adik-adik. Dan, Anda ingat ini, saya juga akan beristirahat bersama mereka di situ. Sebenarnya saya berdoa orang seculas Anda mengirim preman untuk menghancurkan warung ini dan membunuh saya. Atau Anda boleh menggunakan tangan-tangan pemerintah untuk menggugat status kepemilikan tanah ini. Silahkan. Saya sudah terlalu letih untuk mengeluh dan terlalu sedih untuk bersaksi. Tapi saya akan berjuang untuk menjaga warisan orang tua saya. Saya akan melawan Anda, Tuan!!”
Rasa tercekik itu makin keras menusuk. Keringatku makin deras menetes. Baru kali ini superioritasku diremuk anak muda kurus dan miskin.
Di mata pemuda yang tadi kusangka inferior itu, kulihat api amarah yang hebat sekali. Pucat terus menebal di wajahku, keringat dingin makin tebal di tengkuk dan keningku. Selangkanganku kini basah sudah. Ketakutan yang hebat telah menderaku.
Aku kalah. Akulah yang sesungguhnya miskin dan inferior!
***
[Untuk pelayan warung yang menyimpan rasa rendah dirinya: jangan menunduk anak muda, kamu bekerja untuk sesuap nasi yang halal, berbangga dirilah!]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H