Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik dan (Kebutuhan) Prosedur

27 Maret 2016   10:32 Diperbarui: 27 Maret 2016   15:09 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada substansi kebebasan dan partisipasi ini juga kompleks, apalagi dalam era digitalisme. Di era digitalisme, hal-hal tidak substansial mudah sekali menjadi kontroversi lalu viral di sosial media. Kritisisme (voice) menjadi megap-megap dihadapan lakon ceriwis (noise). Sama juga, dalam tradisi partisipasi, yang berlaku sepanjang ini adalah mobilisasi. Jadi konstituen atau rakyat terlibat dalam politik dengan melakoni pelibatan diri yang tidak karena menyadari arti penting sebuah isu, agenda atau peristiwa. Tapi karena jenis keikutsertaan "kerumuman pasar malam" atau karena janji imbalan material tertentu.

Pada ruang begini, lagi-lagi kita harus menyoroti hubungan partai dan konsituen dengan melihat prosedur apa yang mereka bangun untuk mendorong partisipasi politik yang riil. Apa tata cara atau mekanisme yang memungkinkan konstituen tergerak berpolitik karena kesadaran dan tidak mudah terbawa arus ceriwis sosial media yang kebanyakan kenak-kanakan. Jawabnya, menurut saya, hampir tidak ada.

Kira-kira begitu yang saya pahami, Mas Dwi.

Haduh. Capek juga. Sampai disini dulu Mas Dwi Grepong. Intinya yang ringkas adalah untuk membuat politik tetap tersambung dengan yang Politik atau dengan maksud lain tetap menghidupkan keberadaan makna daulat rakyat, keadilan serta kebebasan dan partisipasi, kita membutuhkan prosedur atau tata cara yang sesuai. Perlu diingat, prosedur itu bukan mekanisme pemilihan ketua ranting atau pengurus cabang partai, ia lebih luas dari itu. Sejauh ini, menurut curiga saya, sepertinya prosedur itu belum cukup terbangun (atau lebih persisnya sengaja dibiarkan tidak ada).

So, Mas Dwi Grepong, jadi terbayangkan kenapa Encum seolah memperjuangkan hidupnya sendiri di dalam hidup bernegara yang konon sudah merdeka ini? Pesan saya, janganlah dirimu menambah-nambah penderitaannya, catet!! 

Salam Pagi, selamat hari Minggu. Minum obat duluu akh. Libur-libur kok kumat gilanya. Asem lu Dwi!

***

*) Tulisan mendalam lain dengan renungan filsafat yang tajam bisa dibaca juga pada Politik dan Kebenaran. Tulisan yang membantu saya menulis tema ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun