Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik dan (Kebutuhan) Prosedur

27 Maret 2016   10:32 Diperbarui: 27 Maret 2016   15:09 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sedangkan sebetulnya cara mendapatkan hasil itulah yang lebih penting daripada hasil sendiri.
(bab 3, ilmu alam -science page 99)”
― Tan Malaka, Madilog

***

Si Burung Merak, budayawan WS. Rendra pernah menggambarkan watak politisi pada puisi yang saya lupa judulnya. Tapi inti puisi itu kurang lebihnya berkata para politisi sangat senang dengan panggung, massa, dan bendera-bendera. Politik dalam kesenangan seperti demikian adalah pertunjukan selebrasi dan bukan politik itu sendiri. Dalam selebrasi, politik segera saja menjadi tak ada beda dengan kegaduhan infotainmen. Politisi menjadi setali tiga wajah dengan artis, sisi yang real dan virtual susah dibedakan. Maka bayangkan saja seorang artis yang masuk dunia politik dengan gairah selebrasi yang dominan dibanding gagasan politiknya. Kusut dah.

Persinggungan atau percampuran selebrasi dengan politik inilah yang kini meriah sekali di era digitalisasi demokrasi. Panggung politik bukan saja menampilkan politisi yang gemar memoles wajahnya di depan sorot kamera untuk melayani polemik yang dangkal atau juga menjadi gaduh dengan kontroversi yang merawat dungu. Namun juga, mungkin ini yang lebih penting diselami, keriuhan selebrasi itu menunjukan berkembangnya satu kecenderungan yang mencemaskan.

Kecenderungan mencemaskan tersebut adalah politik menjadi dunia yang semata praktis, kalkulatif, instrumentalis. Politik dan politisi menjadi dunia yang menjadikan arti kekuasaan layaknya aset, barang/benda, kepemilikan juga ajang perebutan dan kontrol benda-benda dengan menghalalkan segala cara. Sudah begitu, diwariskan lagi, semprul. Yang terjadi kemudian adalah politik terlepas dari gagasan fundamental yang berakar pada tiga substansi: kedaulatan, keadilan, serta kebebasan dan partisipasi. Dalam timbangan filsafat, politik (politics) yang mengabaikan tiga substansi ini menjadi terlepas dari Yang Politik. Politik yang sedemikian sejatinya sih sudah mati.

Tapi dalam keterbatasan saya, mendiskusikan politik dengan yang Politik masihlah sesuatu yang terlalu berat. Bukan apa-apa, percakapan ini “hanya nendang” kalau sudah membaca secara benar dan mendalam perenungan dari Slavo Sizek, Alain Badiou, Claude Lefort, Ernesto Laclau, Chantal Mouffe, misalnya, sembari menyambungkan keanekaragaman gagasan mereka dengan permenungan yang lebih dahulu ada. Khususnya dari mereka yang mengeritik keras sistem dan praktik demokrasi prosedural. Saya belum mampu dan tidak berani sekedar menggunakan nama-nama besar itu demi membesarkan nama sendiri. Ini mah namanya modus.

Saya hanya tergugah dengan pertanyaan K’ers Mas Dwi Grepong tentang proseduralisme politik. Mungkin maksud pertanyaannya adalah bagaimana hubungan antara proseduralisme dalam politik. Jawaban malasnya: hubungan mereka baik-baik saja Dwiii Grepong, hak hak hak. Jawaban rajinnya, ini yang bikin sakit kepala. Tapi mari mencoba saja, tentu menurut yang saya maknai dengan sangat terbatas dan semoga menjawab pertanyaan kentir tersebut.

Ijinkan saya mengurai dari sedikit pengertian yang saya miliki. Yang mungkin akan jadi fokus adalah kebutuhan proseduralisme dalam kehidupan politik yang tampaknya belum cukup dibangun atau lebih karena sengaja dibiarkan, khususnya diantara partai dan rakyat.

Saya tidak yakin penjelasan ini benar dan yang kedua, bisa menjawab pertanyaan kentir itu. 

Politik dan (Kebutuhan) Prosedur

Saya mencoba melihat hubungan keduanya dalam tiga substansi di atas yakni makna kedaulatan, keadilan dan kebebasan serta partisipasi. Dwi Grepong, siap-siap. Bacalah dengan kekentiran tingkat langit.

Pertama, dalam makna kedaulatan. Yang pertama perlu didasarkan adalah hubungan antara rakyat (konstituen), partai politik, dan politisi. Rakyat adalah penghuni kedaulatan, jelas ya? Tanpa mereka, tidak ada yang namanya partai dan politisi. Partai politik adalah sarana, alat, organisasi yang disepakati secara resmi (artinya kita bisa bubarkan mereka, bukan titipan Tuhan kok...ayo berani anarki, hahaha) untuk menjaga kedaulatan itu terwujud ke perilaku partai politik. Sementara politisi adalah mereka yang sudah terpilih untuk menjalankan mandat dari daulat rakyat melalui serial pemilu yang aturan mainnya disepakati bersama.

Dalam hubungan seperti ini harus ada prosedur alias tata cara yang memfasilitasi agar berjalan secara teratur, tertib, dan berkesinambungan juga tetap bermakna. Sekali lagi, prosedur adalah tata cara untuk menjaga keberadaan dan kebermaknaan daulat rakyat dalam peristiwa politik. Karena bersifat tata cara maka ia sangat fleksibel dan selalu menyesuaikan dengan konteks perubahan.

Yang terlihat sejauh ini prosedur menjadi  agenda utama yang terus diperbaiki. Paling mudah adalah dengan melihat perubahan aturan main (revisi UU Politik atau aturan pemerintah atau aturan penyelenggara pemilu) atau juga pada sistem pemilu: kompetisi dan keterwakilan. Fokus seperti ini tidak salah karena memperbaiki aturan main keterwakilan akan memperbesar peluang memilih wakil-wakil daulat rakyat yang baik.

Yang jadi perkaranya adalah manakala perbaikan sistem keterwakilan ini ternyata belum mewujudkan harapan menguatnya daulat rakyat, malah justru memproduksi kegagalan/disfungsi. Apa faktanya? Rangkaian korupsi di legislatif dan eksekutif dimana-mana, dari pusat sampai pinggiran. Korupsi adalah memakan uang rakyat secara rakus untuk membesarkan perut sendiri/kelompok. Atau juga, geng politisi yang lebih sibuk menjadikan kekuasaan untuk menjaga kenyamanan diri dengan macam-macam fasilitas yang dibiayai negara sebagai prioritas berkuasa. Prosedur seperti ini tampaknya mudah sekali ditelikung oleh mereka yang sudah lebih dulu berkuasa.

Kalau kayak begini maka yang juga wajib dilihat adalah budaya berpartai yang berkaitan dengan kaderisasi, ideologisasi, dan peran sehari-hari partai terhadap konsitiuen. Apakah budaya partai itu sehat atau justru sakit. Sehat berarti partai menjadi bagian dari hidup sehari-hari konstituen atau bila sakit, justru hanya datang dengan muka manis pada saat pemilu. Jika memang sakit maka proseduralisme menjadi tidak bermakna alias tata cara mematikan arti daulat rakyat.

Gimana Dwi Grepong? Kita lanjut?
Lanjuut. 

Kedua, keadilan. Keadilan berkaitan dengan bagaimana berpolitik sebagai perjuangan kolektif untuk mewujudkan keadilan dalam menegakkan daulat rakyat. Hal ini berkaitan dengan penggunaan sumberdaya kekuasaan (otoritas, anggaran, kebijakan) untuk melayani kebutuhan-kebutuhan utama yang mendesak di masyarakat. Di ruang ini, perbincangannya menjadi tidak sederhana.

Sebabnya adalah rakyat bukanlah kategori yang tidak memiliki isi identitas atau kelompok kepentingannya masing-masing. Persisnya di dalam rakyat itu ada petani, buruh, kaum miskin perkotaan, guru, prajurit, pelacur, gelandangan, kaum difabel, dan banyak lagi. Keadilan kepada siapa jika identitas rakyat sangat majemuk dan tak jarang mudah berkonflik?

Di sinilah, partai dan politisi harus membangun prosedur juga metode yang memampukan mereka menginventrisir kebutuhan konstituen masing-masing kemudian melahirkannya ke dalam susunan program yang memampukan mereka bertindak melayani secara serius. Keadilan menjadi norma yang harus dipegang teguh agar semua lapisan konstituen mendapatkan layanan politik yang proporsional dan menjawab kebutuhan.

Pertanyaannya, sudahkah ada prosedur dan metode untuk itu? Secara teoritik, sudah banyak diketahui, tapi secara praktik, tampaknya budaya politik kita masih miskin atau lebih tepatnya masih malas-malasan. Budaya politik kita masih hidup dalam kehidupan berpartai yang dikendalikan oleh dua kekuatan: oligarki dan dinasti. Kaya di atas, sengsara di bawah. Tapi kita masih setia memberi suara. 

Ketiga, kebebasan serta partisipasi. Kebebasan berkaitan dengan kehidupan politik yang memungkinkan check and balances terus terpelihara. Itu sama artinya ada ruang publik yang tercipta bagi rakyat untuk mengembangkan pilihan politik dan sikap kritis terhadap buruk laku kekuasaan.

Pada substansi kebebasan dan partisipasi ini juga kompleks, apalagi dalam era digitalisme. Di era digitalisme, hal-hal tidak substansial mudah sekali menjadi kontroversi lalu viral di sosial media. Kritisisme (voice) menjadi megap-megap dihadapan lakon ceriwis (noise). Sama juga, dalam tradisi partisipasi, yang berlaku sepanjang ini adalah mobilisasi. Jadi konstituen atau rakyat terlibat dalam politik dengan melakoni pelibatan diri yang tidak karena menyadari arti penting sebuah isu, agenda atau peristiwa. Tapi karena jenis keikutsertaan "kerumuman pasar malam" atau karena janji imbalan material tertentu.

Pada ruang begini, lagi-lagi kita harus menyoroti hubungan partai dan konsituen dengan melihat prosedur apa yang mereka bangun untuk mendorong partisipasi politik yang riil. Apa tata cara atau mekanisme yang memungkinkan konstituen tergerak berpolitik karena kesadaran dan tidak mudah terbawa arus ceriwis sosial media yang kebanyakan kenak-kanakan. Jawabnya, menurut saya, hampir tidak ada.

Kira-kira begitu yang saya pahami, Mas Dwi.

Haduh. Capek juga. Sampai disini dulu Mas Dwi Grepong. Intinya yang ringkas adalah untuk membuat politik tetap tersambung dengan yang Politik atau dengan maksud lain tetap menghidupkan keberadaan makna daulat rakyat, keadilan serta kebebasan dan partisipasi, kita membutuhkan prosedur atau tata cara yang sesuai. Perlu diingat, prosedur itu bukan mekanisme pemilihan ketua ranting atau pengurus cabang partai, ia lebih luas dari itu. Sejauh ini, menurut curiga saya, sepertinya prosedur itu belum cukup terbangun (atau lebih persisnya sengaja dibiarkan tidak ada).

So, Mas Dwi Grepong, jadi terbayangkan kenapa Encum seolah memperjuangkan hidupnya sendiri di dalam hidup bernegara yang konon sudah merdeka ini? Pesan saya, janganlah dirimu menambah-nambah penderitaannya, catet!! 

Salam Pagi, selamat hari Minggu. Minum obat duluu akh. Libur-libur kok kumat gilanya. Asem lu Dwi!

***

*) Tulisan mendalam lain dengan renungan filsafat yang tajam bisa dibaca juga pada Politik dan Kebenaran. Tulisan yang membantu saya menulis tema ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun