Pertama, dalam makna kedaulatan. Yang pertama perlu didasarkan adalah hubungan antara rakyat (konstituen), partai politik, dan politisi. Rakyat adalah penghuni kedaulatan, jelas ya? Tanpa mereka, tidak ada yang namanya partai dan politisi. Partai politik adalah sarana, alat, organisasi yang disepakati secara resmi (artinya kita bisa bubarkan mereka, bukan titipan Tuhan kok...ayo berani anarki, hahaha) untuk menjaga kedaulatan itu terwujud ke perilaku partai politik. Sementara politisi adalah mereka yang sudah terpilih untuk menjalankan mandat dari daulat rakyat melalui serial pemilu yang aturan mainnya disepakati bersama.
Dalam hubungan seperti ini harus ada prosedur alias tata cara yang memfasilitasi agar berjalan secara teratur, tertib, dan berkesinambungan juga tetap bermakna. Sekali lagi, prosedur adalah tata cara untuk menjaga keberadaan dan kebermaknaan daulat rakyat dalam peristiwa politik. Karena bersifat tata cara maka ia sangat fleksibel dan selalu menyesuaikan dengan konteks perubahan.
Yang terlihat sejauh ini prosedur menjadi agenda utama yang terus diperbaiki. Paling mudah adalah dengan melihat perubahan aturan main (revisi UU Politik atau aturan pemerintah atau aturan penyelenggara pemilu) atau juga pada sistem pemilu: kompetisi dan keterwakilan. Fokus seperti ini tidak salah karena memperbaiki aturan main keterwakilan akan memperbesar peluang memilih wakil-wakil daulat rakyat yang baik.
Yang jadi perkaranya adalah manakala perbaikan sistem keterwakilan ini ternyata belum mewujudkan harapan menguatnya daulat rakyat, malah justru memproduksi kegagalan/disfungsi. Apa faktanya? Rangkaian korupsi di legislatif dan eksekutif dimana-mana, dari pusat sampai pinggiran. Korupsi adalah memakan uang rakyat secara rakus untuk membesarkan perut sendiri/kelompok. Atau juga, geng politisi yang lebih sibuk menjadikan kekuasaan untuk menjaga kenyamanan diri dengan macam-macam fasilitas yang dibiayai negara sebagai prioritas berkuasa. Prosedur seperti ini tampaknya mudah sekali ditelikung oleh mereka yang sudah lebih dulu berkuasa.
Kalau kayak begini maka yang juga wajib dilihat adalah budaya berpartai yang berkaitan dengan kaderisasi, ideologisasi, dan peran sehari-hari partai terhadap konsitiuen. Apakah budaya partai itu sehat atau justru sakit. Sehat berarti partai menjadi bagian dari hidup sehari-hari konstituen atau bila sakit, justru hanya datang dengan muka manis pada saat pemilu. Jika memang sakit maka proseduralisme menjadi tidak bermakna alias tata cara mematikan arti daulat rakyat.
Gimana Dwi Grepong? Kita lanjut?
Lanjuut.
Kedua, keadilan. Keadilan berkaitan dengan bagaimana berpolitik sebagai perjuangan kolektif untuk mewujudkan keadilan dalam menegakkan daulat rakyat. Hal ini berkaitan dengan penggunaan sumberdaya kekuasaan (otoritas, anggaran, kebijakan) untuk melayani kebutuhan-kebutuhan utama yang mendesak di masyarakat. Di ruang ini, perbincangannya menjadi tidak sederhana.
Sebabnya adalah rakyat bukanlah kategori yang tidak memiliki isi identitas atau kelompok kepentingannya masing-masing. Persisnya di dalam rakyat itu ada petani, buruh, kaum miskin perkotaan, guru, prajurit, pelacur, gelandangan, kaum difabel, dan banyak lagi. Keadilan kepada siapa jika identitas rakyat sangat majemuk dan tak jarang mudah berkonflik?
Di sinilah, partai dan politisi harus membangun prosedur juga metode yang memampukan mereka menginventrisir kebutuhan konstituen masing-masing kemudian melahirkannya ke dalam susunan program yang memampukan mereka bertindak melayani secara serius. Keadilan menjadi norma yang harus dipegang teguh agar semua lapisan konstituen mendapatkan layanan politik yang proporsional dan menjawab kebutuhan.
Pertanyaannya, sudahkah ada prosedur dan metode untuk itu? Secara teoritik, sudah banyak diketahui, tapi secara praktik, tampaknya budaya politik kita masih miskin atau lebih tepatnya masih malas-malasan. Budaya politik kita masih hidup dalam kehidupan berpartai yang dikendalikan oleh dua kekuatan: oligarki dan dinasti. Kaya di atas, sengsara di bawah. Tapi kita masih setia memberi suara.
Ketiga, kebebasan serta partisipasi. Kebebasan berkaitan dengan kehidupan politik yang memungkinkan check and balances terus terpelihara. Itu sama artinya ada ruang publik yang tercipta bagi rakyat untuk mengembangkan pilihan politik dan sikap kritis terhadap buruk laku kekuasaan.