Apalagi ketika ia menyaksikan bumi yang makin mudah marah diperkosa liarnya kehendak pemusnahan hidup oleh saintisme yang berkolaborasi dengan gairah subhuman bernama berperang dan menguasai manusia lain. Sakit.
Sepak bola dalam kontrol rasio instrumentalis rasa-rasanya juga bisa tiba dalam kecemasan khas manusia pencerahan di atas. Yakni ketika sepak bola tidak lebih dari pertarungan untuk merebut kebesaran di mana manusia (pesepak bola) hanyalah komponen penopang untuk menggali semaksimal manfaat. Atau pesepak bola hanyalah daftar komponen untuk mencapai semaksimal keuntungan yang dikendalikan segelintir manusia.
Pada persinggungan seperti ini, surat cinta Buffon kepada gawang di atas membuat saya terhenyak. Apakah ini bentuk dari idealisme bermain yang tidak selalu terbaca dalam hiruk pikuk pertandingan, kompetisi atau juga skandal yang menimpa tata kelola sepak bola?
Saya tidak tahu persis. Yang saya nikmati dari surat cinta paling puitis dari seorang penjaga gawang adalah bentuk ekspresi rasa yang selama ini menjaga gairah bertanding sehingga memungkin pesepak bola tampil konsisten tanpa dibebani orientasi diri menjadi superior.Â
Kita juga jadi tahu, menjadi penjaga gawang, yang jarang sekali disorot ketimbang posisi gelandang atau penyerang, tetap membutuhkan cinta yang serius dalam bermain. Cinta yang terbaca indah dalam kata-kata ini:
Lebih dari 25 tahun lalu aku sudah membuat ikrar; aku bersumpah melindungimu. Menjagamu. Menjadi perisai dari seluruh musuhmu. Aku selalu memikirkan kepentinganmu, meletakkannya di atas kepentinganku sendiri.
Betapa Buffon menciptakan satu patriotisme bermain yang romantis. Patriotisme yang bukan atas nama kebesaran bangsa sebagaimana percakapan politik dan militer ketika mendengungkan ancaman perang atau konspirasi intelijen.Â
Patriotisme Buffon yang seperti ini membuatnya selalu menyediakan diri untuk total dalam setiap pertandingan. Dan itu terbukti bukan?
Puisi seperti ini juga menjadi sejenis dasar motivasional yang barangkali serasa dengan apa yang hidup pada sanubari anak-anak miskin di Brazil ketika menendang bola di jalanan atau tanah lapang tak berumput.Â
Motivasi yang membuat sepak bola sangat spiritual layaknya agama dalam hidup sehari-hari manusia Brazil. Atau juga sejenis motivasional dalam diri anak-anak Afro-Melanesia dalam bermain bola demi menghidupkan kebanggaan dirinya di tengah rasisme yang masih liat.
Saya jadi melihat (lagi) surat cinta Buffon kepada gawangnya sebagai keseriusan dalam bermain.Â