Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memaknai Surat Cinta Buffon

25 Maret 2016   09:23 Diperbarui: 5 Juli 2020   12:51 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber: vk.com"][/caption]

Sesudah berhasil menciptakan rekor clean sheet terlama sepanjang sejarah Serie A, kiper Juventus yang juga Tim Nasional Italia, Gianluigi Buffon (38) menulis surat cinta yang manis sekali. Surat cinta yang sangat puitis:

"Usiaku 12 ketika aku mulai memalingkan wajahku darimu, melupakan masa lalu demi memberimu jaminan di masa depan. Aku sudah bertindak menurut kata hati. Aku telah bertindak dengan naluri. Tapi di hari ketika aku berhenti menatapmu juga menjadi hari aku mulai mencintaimu.

Untuk melindungimu, demi menjadi pelindungmu yang pertama dan terakhir, aku sudah berjanji pada diri sendiri agar tidak lagi sering-sering melihat wajahmu. Atau aku akan melakukannya sejarang mungkin. Setiap kali melihatmu rasanya menyakitkan; membalikkan tubuhku dan menyadari bahwa aku sudah mengecewakanmu. Lagi. Dan lagi.

Kita selalu berada pada dua titik berbeda tapi kita saling melengkapi, seperti mentari dan rembulan. Terpaksa hidup berdampingan tanpa bisa saling lama-lama bersentuhan. Lebih dari 25 tahun lalu aku sudah membuat ikrar; aku bersumpah melindungimu. Menjagamu. Menjadi perisai dari seluruh musuhmu. Aku selalu memikirkan kepentinganmu, meletakkannya di atas kepentinganku sendiri.

Usiaku 12 ketika aku mulai memunggungi gawang. Dan aku akan terus melakukannya selama kaki, kepala, dan hatiku masih mampu."

Surat cinta yang indah bukan?

Dalam andaian saya, surat seperti ini, di mata mereka yang tidak mengerti sepak bola pun bisa diajak menikmati sisi yang sangat romantis dari surat tersebut. Kecuali terhadap mereka yang membenci, surat ini akan tampak seperti igau diri yang aneh. Cinta memang tidak pernah mekar bersama kebencian.

Buffon memang bukan saja penjaga gawang yang kharismatik. Surat cintanya menunjukkan dia tipikal lelaki Italia yang romantis. Konon memang begitu katanya.

Tapi saya lebih senang melihat surat cinta Buffon yang sangat puitis itu dalam perkara yang mungkin lebih luas dari sekedar mengejar-tendang si kulit bundar. 

Perkara yang saya maksudkan adalah tentang manusia--yang disebut Johan Huizinga--sebagai Homo Ludens, makhluk yang bermain. Karya Huizinga dengan judul yang sama ini pernah diterjemahkan oleh LP3ES di sekitar tahun 80an, kalau tak salah ingat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun