“Lumayan. Delapan puluh ribu per hari. Gimana?”
Pikiranku membayang, angan kecilku bakal terlaksana. Duit tabungan yang kusembunyikan hanya membutuhkan sedikit lagi tambahan agar boleh membawa pulang motor A100. Dengan bayaran sebesar itu dalam sebulan aku bisa menggenapkan tabungan 700ribu menjadi sejuta. Ah, Nini sayang, kelak kau tak perlu lagi berjalan kaki menjajakan gado-gadomu. Kau tak harus mengingau setiap malam dan membuatku terjaga selalu.
“Oke Jak. Aku ikut. Besok kita berangkat kan?”
Jaka hanya menganguk. Tersenyum. Aku pamit meninggalkan warung kopi di pinggir kali yang sering menjadi ruang jumpa kuli-kuli yang menunggu ajakan kerja. Langkahku hanya ingin segera tiba di kontrakan, menanti Nini pulang dan menceritakan ajakan kerja sebulan dari Joko.
Sesampai di rumah, matahari belum terlalu jauh tergelincir ke barat. Pintu rumah kontrakan masih seperti beberapa jam lalu ditinggal. Kau belum pulang. Atau sebaiknya kususul saja?
“Sebaiknya kususul saja.” batinku.
Langkah memburuku kali ini lebih cepat lagi. Ingin sekali berbagi kabar gembira. Sebulan akan memisahkan kita untuk sementara demi motor tua. Demi menjaga langkahmu menjauh dari lelah berkeliling.
Aku menyusuri pinggiran kali dan menuju kompleks perumahan yang padat. Sebenarnya pilihan rute yang berbahaya karena harus meniti bantaran curam yang belum selesai dibangun tanggulnya. Salah menginjak kaki bisa tergelincir dengan kepala menemui bongkahan beton kasar di dasar bantaran.Tapi ini satu-satunya rute yang cepat untuk tiba menjumpaimu, kekasih.
Tetiba saja, seratus meter di depan sana, teriakan histeris terdengar memekakan sepi.
“Naaa.....nn....”
Nini? Suaramukah itu? Panggilan terputus itu, teriakanmukah?