Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengenali "Dua Bahasa" dalam Cerpen

8 Januari 2016   16:18 Diperbarui: 26 November 2019   12:04 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sastra adalah sebuah transformasi, ketika kita membubuhkan yang imajinatif, menggerakkan kisah, membebaskan yang ada dari kebekuan kata, nama dan harga”
[Goenawan Mohamad, Tutur, Gumam dan Realisme, Menyusuri Novel-novel Putu Wijaya, 2014]

---

Ada salah satu cerpen yang memikat saya di pembukaan tahun 2016 ini.

Tersebutlah K'ers Sarwo Prasojo, si penulis cerpen tersebut. Sarwo Prasojo adalah kolega saya yang juga berlatar belakang “fakultas ilmu santet dan pelet” (hiduup FISIP!! #ikutnumpangbeken), yang menyusun cerita sangat memikat tentang orang-orang kecil kala memaknai malam tahun baru. 

Tentang sepasang suami istri (Jumali dan Karsiem) dari kelas kere yang memiliki kehendak terlibat dalam keramaian massa di malam tahun baru, pergi berdua dengan sepeda, membawa panganan seadanya, duduk agak jauh dan larut dalam keramaian itu dengan tafsirnya sendiri. 

Hingga ketika pulang, mereka berdua kelelahan dan tidur di pos ronda dengan mimpi yang indah.

Dalam cerita itu, sosok yang juga baru menetapkan diri sebagai guru K'ers yang sedang hot-dalam-kejombloannya (aaiah, tetap tabah bro!), si D’kiils Difa, sukses menghadirkan pergulatan batin manusia jelata, kemesraan sederhana dan harapan dalam latar kehidupan masyarakat desa dengan sangat hidup. 

Sebenarnya, membaca beberapa cerpen Sarwo, saya seolah sedang membaca cara bercerita Ahmad Tohari, yang berani mengambil latar tragedi 1965 sebagai latar cerita dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk di era Orde Baru yang sangat sensorik itu. 

Barangkali mereka dua memang memiliki kepiawaian yang mirip—pergulatan dunia manusia pedesaan—sebab sama berasal dari Banyumas. Entahlah, doakan saja semoga dari Kompasiana, Sarwo Prasojo boleh menjadi Ahmad Tohari baru.

Dari membaca cerpen Sarwo tersebut, saya kemudian teringat pada satu ulasan yang dapat membantu saya mengenali “jenis bahasa” dalam cerpen. Ulasan itu saya dapatkan dalam ulasan sosiolog Ignas Kleden kala membedah karya-karya Putu Wijaya, khususnya terhadap cerpen dan novel. 

Dalam ulasan yang berjudul Konstruksi Sosial ala Putu Wijaya, Ignas Kleden menuntun saya mengenali dua jenis bahasa dalam bercerpen. Selain Ignas Kleden, ada satu lagi ulasan atas novel Putu Wijaya yang dibuat oleh Goenawan Mohamad yang bisa dijadikan sebagai perbandingan.

Naskah Konstruksi Sosial ala Putu Wijaya saya dapatkan dari seorang kawan yang pernah bekerja dengan Ignas Kleden. 

Karya tersebut berupa soft file yang di-copy lalu saya memintanya. Saya sudah mencarinya di google tapi belum menemukan alamat link yang pernah mempublis. Barangkali juga sudah diterbitkan dalam bentuk buku, namun saya belum juga membacanya. 

Jadi sebelumnya saya meminta maaf jika menggunakan sumber rujukan yang belum dipublis dalam tulisan ini, khususnya kepada pemilik ulasan.

Sebagai pengingat awal, saya sendiri belum pernah membaca karya-karya Putu Wijaya. Karena itu juga tidak bisa mengonfrontir bacaan saya atas ulasan Ignas Kleden dan bacaan saya atas karya Putu Wijaya. 

Saya hanya sebatas menuliskembali pembacaan Ignas Kleden dalam memaknai satu karya cerpen atau novel. Barangkali saja ada sedikit guna dalam menikmati karya para Fiksianer atau memberi sedikit ketertarikan untuk mencoba menulis cerpen.

Apa jenis bahasa dalam cerpen yang dibedakan oleh Ignas Kleden?

Ada dua model bahasa atau katakan saja modus bertutur. Dua model bahasa ini dipinjam Ignas Kleden dari psikolog Charlote Buehler. 

Pertama, jenis Darstellung, yakni bahasa deskripsi, lukisan, pemerian yang banyak memberi kita waktu menimbang dan merenung. Sedangkan kedua, jenis bahasa Appel atau appeal, (bahasa) yang dengan tegar meminta pembaca mengambil sikap, terus terlibat atau berhenti terlibat dalam teks-teks tersebut.

Dalam penegasan Ignas Kleden, dua bahasa ini terbedakan karena (yang pertama) suatu deskripsi menunjuk hubungan bahasa dengan obyek yang ditunjuknya. Sedangkan suatu appeal menunjuk hubungan bahasa dengan lawan-bicara atau pembaca (hal 1).

Persisnya seperti apa membedakan dua model bahasa dalam cerpen itu?

Bagi dia, cerpen atau novel Putu Wijaya berdiri dalam jenis bahasa appeal. Saya sendiri belum memiliki gambaran yang jelas juga pengertian yang sempurna. Saya kutip saja bahasa Ignas Kleden disini :

Wacana dalam teks-teks Putu Wijaya bukanlah wacana tentang kesesuaian antara suatu pernyataan dengan obyek yang ditunjuknya, melainkan tentang dua hal lain. Pertama, ditekankan dan dipertanyakan dengan radikal kesesuaian antara norma-norma suatu pernyataan dan norma-norma dalam masyarakat. Apakah suatu pernyataan dapat diterima berdasarkan rasa umum kepatutan dalam suatu kelompok sosial. Kedua, digugat juga kesesuaian antara isi pernyataan dan apa yang menjadi maksud dari orang yang mengucapkannya. Apakah pernyataan itu mengandung suatu kejujuran dari orang yang mengungkapkannya, dan mencerminkan otentisitas pengalaman dan penghayatannya.

Dari kesimpulan seperti ini, maka boleh sedikit dijadikan pengertian awal bahwa yang dimaksud dengan model bahasa Appeal adalah cerpen yang menguji kembali norma, nilai, pengetahuan, adat, tradisi, cara pandang, keyakinan kolektif,dll yang terlanjur terterima secara umum, diterima sebagai sesuatu yang patut dan sudah memang begitu adanya selama ini. 

Dengan kata lain, model bahasa appeal memaksa pembacanya menyusun jarak dan menaruh curiga atas “yang sudah diterima secara umum tersebut”, membuatnya diam dan memeriksa kembali segala “klaim kebenaran” yang sudah tersematkan kepadanya.

Klaim kebenaran apakah yang sedang dipertaruhkan melalui bahasa appeal?

Ignas Kleden menjelaskan:

(Jadi) ada tiga jenis kebenaran yang dipertaruhkan di sini, yaitu kebenaran pengetahuan (truth) yang relatif diabaikan dalam cerita-cerita Putu Wijaya, kebenaran moral (rightness) yang dipertanyakan dan digugatnya dengan cara mengacak-acak norma umum yang sudah biasa diterima, dan kebenaran psikologis (truthfulness) yang dibelanya secara gigih (hal 2).

Kebenaran pengetahuan, moral, dan psikologis merujuk pada dunia sosial, dunia manusia. Karena itu ia sesuatu yang berada dalam konstruksi sosial (diproduksi) terus menerus. Relativitasnya sangat kental karena itu bukan sesuatu yang tidak berubah dalam perjalanan sejarah. 

Dengan cara pandang seperti ini, masyarakat bukanlah sesuatu yang sudah selesai, nilai-nilai yang tumbuh di dalamnya bukanlah sesuatu yang terberi. Konstruksi sosial bukan saja mengajak untuk mengenali pola produksinya, tetapi juga memeriksa kembali yang terlanjur diterima sebagai yang sudah baku.

Saya belum memiliki contoh jenis cerpen dengan bahasa appeal layaknya Putu Wijaya di Kompasiana. 

Saya baru curiga jika, salah satunya saja, DesoL sedang berdiri pada “aliran ini” dengan kegemarannya memainkan sadisme sekaligus “pengalaman-pengalaman gelap” manusia, kegemaran menabrak yang dipandang tabu, dan kemudian melepaskan itu ke dalam pecahan-pecahan yang silahkan dinikmati sendiri oleh pembaca. 

DesoL tidak memberikan “moral atau kebenaran baru”, tapi sesudah didobraknya, ia malah membuang itu seolah daging yang sudah terkoyak dimana-mana. Rasanya seperti itu, saya hanya curiga saja.

Sementara itu, Sarwo Prasojo, yang menjaga diri dari polusi cita rasa urban-megapolitan dalam bercerpen, adalah salah satu saja yang sedang merawat bahasa Darstellung, bahasa deskripsi yang membawa pembacanya merenung dan menimbang. 

Saya akan coba menunjukkan itu.

Kisah Jumali dan Karsiem yang ingin terlibat dalam keramaian pesta akhir tahun di alun-alun kabupaten adalah kehendak yang marak tumbuh meray-rayu dalam sanubari banyak manusia, khususnya orang-orang kecil. Hidup setahun yang penat diharapkan dalam sejenak terhalau dengan menikmati keramaian itu dari atas selembar kain sarung dan jagung rebus.

Secara sosiologis, kehendak menikmati keramaian ini bisa dimaknai sebagai kehendak terlibat dalam konsumsi kolektif, yakni ketika orang-orang desa yang berada di pinggiran memaksa diri ke kota untuk menikmati juga fasilitas yang ada di perkotaan, baik pendidikan, kesehatan, atau fasilitas kesenangan. 

Jika tak salah, teori kehendak konsumsi kolektif ini dalam sosiologi perkotaan dicetuskan oleh Hans Dieter Evers ketika ia mengeritik teori penyebab urbanisasi.

Sarwo juga sedang memotret ketimpangan ekonomi-budaya dan menghadirkan itu kepada kita secara lembut bersama narasi kemesraan yang sederhana sekali (boncengan sepeda). Ia menunjukkan sebuah kehendak sederhana yang tumbuh di dalam banyak jiwa manusia pinggiran sekadar untuk menikmati itu sementara di kota-kota, mereka yang lebih beruntung sibuk membakar uang dan pesta hingar bingar di pub atau diskotik hingga lupa diri. 

Kehendak sederhana manusia pinggiran inilah sebuah cerita yang tersisa di malam jelang tanggal 1 januari, tidak penting perayaan tahun baru itu secara moral benar atau salah bukan?

Tapi apakah sampai disitu saja?

Tidak. Sarwo dalam penutupnya sebenarnya sedang menghadirkan dua jenis pemaknaan atas tahun baru. 

Pemaknaan yang hadir dalam mimpi Jumali dan Karsiem. Jumali bermimpi pada malam tahun baru ia boleh meraup banyak rupiah sementara Karsiem bermimpi ia telah naik kelas, memiliki smartphone touch screen, minuman soft drink, dan berselfie ria. Dua jenis pemaknaan yang menunjukkan dua jenis motif yang tumbuh subur dalam ruang batin jelata yang berharap keluar dari kesulitan (kemiskinan) harian.

Kira-kira inilah model penggunaan bahasa deskripsi, bahasa yang mengajak kita bukan saja menikmati narasinya yang bertutur dan membuat kita seolah sedang berada di dalam situasi tersebut. Tetapi juga mengajak untuk melihat ada sesuatu yang salah dalam suatu tradisi yang terlanjur diterima. Termasuk juga menggugah kita untuk berempati pada mereka yang kurang beruntung.

Yang jelas, dua model modus bertutur yang disebut Ignas Kleden ini menunjukkan jika kerja bercerpen itu sungguh-sungguh menarik untuk digeluti. Dua modus bertutur yang mengajak kita untuk mencandra keseharian hidup, imajinasi, dan membuatnya menjadi untaian cerita yang membuat kita tidak lekas-lekas lupa atau menerima secara latah dinamika hidup manusia yang sementara saja. 

Lantas, apakah cerpen yang tidak menggunakan dua model bahasa ini tidak bisa dikategorikan sebagai cerpen yang bagus?

Tentu saja tidak. 

Tidak ada cerpen yang dibuat dengan mudah dan sebentar kecuali hasil plagiasi. Posisi saya juga tidak sedang mengevaluasi kekuatan dan kelemahan sebuah cerpen. 

Sebagai pemula, niatannya hanya hendak sedikit saja mengenalkan dua jenis bahasa dalam ulasan Ignas Kleden yang saya simak dalam cerpen Sarwo Prasojo berjudul 1 Januari dan Satu Cerita Tersisa. Sangat bisa jadi saya malah salah memaknai tafsir atas karya Putu Wijaya tersebut.

Semoga ada berguna, Salam!

 

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun