Kira-kira inilah model penggunaan bahasa deskripsi, bahasa yang mengajak kita bukan saja menikmati narasinya yang bertutur dan membuat kita seolah sedang berada di dalam situasi tersebut. Tetapi juga mengajak untuk melihat ada sesuatu yang salah dalam suatu tradisi yang terlanjur diterima. Termasuk juga menggugah kita untuk berempati pada mereka yang kurang beruntung.
Yang jelas, dua model modus bertutur yang disebut Ignas Kleden ini menunjukkan jika kerja bercerpen itu sungguh-sungguh menarik untuk digeluti. Dua modus bertutur yang mengajak kita untuk mencandra keseharian hidup, imajinasi, dan membuatnya menjadi untaian cerita yang membuat kita tidak lekas-lekas lupa atau menerima secara latah dinamika hidup manusia yang sementara saja.Â
Lantas, apakah cerpen yang tidak menggunakan dua model bahasa ini tidak bisa dikategorikan sebagai cerpen yang bagus?
Tentu saja tidak.Â
Tidak ada cerpen yang dibuat dengan mudah dan sebentar kecuali hasil plagiasi. Posisi saya juga tidak sedang mengevaluasi kekuatan dan kelemahan sebuah cerpen.Â
Sebagai pemula, niatannya hanya hendak sedikit saja mengenalkan dua jenis bahasa dalam ulasan Ignas Kleden yang saya simak dalam cerpen Sarwo Prasojo berjudul 1 Januari dan Satu Cerita Tersisa. Sangat bisa jadi saya malah salah memaknai tafsir atas karya Putu Wijaya tersebut.
Semoga ada berguna, Salam!
Â
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H