Bagi dia, cerpen atau novel Putu Wijaya berdiri dalam jenis bahasa appeal. Saya sendiri belum memiliki gambaran yang jelas juga pengertian yang sempurna. Saya kutip saja bahasa Ignas Kleden disini :
Wacana dalam teks-teks Putu Wijaya bukanlah wacana tentang kesesuaian antara suatu pernyataan dengan obyek yang ditunjuknya, melainkan tentang dua hal lain. Pertama, ditekankan dan dipertanyakan dengan radikal kesesuaian antara norma-norma suatu pernyataan dan norma-norma dalam masyarakat. Apakah suatu pernyataan dapat diterima berdasarkan rasa umum kepatutan dalam suatu kelompok sosial. Kedua, digugat juga kesesuaian antara isi pernyataan dan apa yang menjadi maksud dari orang yang mengucapkannya. Apakah pernyataan itu mengandung suatu kejujuran dari orang yang mengungkapkannya, dan mencerminkan otentisitas pengalaman dan penghayatannya.
Dari kesimpulan seperti ini, maka boleh sedikit dijadikan pengertian awal bahwa yang dimaksud dengan model bahasa Appeal adalah cerpen yang menguji kembali norma, nilai, pengetahuan, adat, tradisi, cara pandang, keyakinan kolektif,dll yang terlanjur terterima secara umum, diterima sebagai sesuatu yang patut dan sudah memang begitu adanya selama ini.
Dengan kata lain, model bahasa appeal memaksa pembacanya menyusun jarak dan menaruh curiga atas “yang sudah diterima secara umum tersebut”, membuatnya diam dan memeriksa kembali segala “klaim kebenaran” yang sudah tersematkan kepadanya.
Klaim kebenaran apakah yang sedang dipertaruhkan melalui bahasa appeal?
Ignas Kleden menjelaskan:
(Jadi) ada tiga jenis kebenaran yang dipertaruhkan di sini, yaitu kebenaran pengetahuan (truth) yang relatif diabaikan dalam cerita-cerita Putu Wijaya, kebenaran moral (rightness) yang dipertanyakan dan digugatnya dengan cara mengacak-acak norma umum yang sudah biasa diterima, dan kebenaran psikologis (truthfulness) yang dibelanya secara gigih (hal 2).
Kebenaran pengetahuan, moral, dan psikologis merujuk pada dunia sosial, dunia manusia. Karena itu ia sesuatu yang berada dalam konstruksi sosial (diproduksi) terus menerus. Relativitasnya sangat kental karena itu bukan sesuatu yang tidak berubah dalam perjalanan sejarah.
Dengan cara pandang seperti ini, masyarakat bukanlah sesuatu yang sudah selesai, nilai-nilai yang tumbuh di dalamnya bukanlah sesuatu yang terberi. Konstruksi sosial bukan saja mengajak untuk mengenali pola produksinya, tetapi juga memeriksa kembali yang terlanjur diterima sebagai yang sudah baku.
Saya belum memiliki contoh jenis cerpen dengan bahasa appeal layaknya Putu Wijaya di Kompasiana.
Saya baru curiga jika, salah satunya saja, DesoL sedang berdiri pada “aliran ini” dengan kegemarannya memainkan sadisme sekaligus “pengalaman-pengalaman gelap” manusia, kegemaran menabrak yang dipandang tabu, dan kemudian melepaskan itu ke dalam pecahan-pecahan yang silahkan dinikmati sendiri oleh pembaca.