Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Doa di Atas Keramba

7 Januari 2016   18:12 Diperbarui: 8 Januari 2016   05:59 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Keramba/dok.pri"][/caption]

Putaran waktu baru saja bergeser dari pukul tiga sore.

Dari dalam perahu klotok yang sementara melintas di kanal Hantipan yang airnya kehitaman, saya melihat pelangi itu melukis dirinya di atas sungai Katingan. Hujan baru saja pergi dan kini berganti terik mentari. “Haah, cepatlah sampai,” cemas hati berhentak lagi. Cemas yang sudah mulai bersemi sejak jelang pergantian tahun 2015. Cemas yang terus saja mengental sejak mendengar kabar kematian mendadak ribuan ekor bibit ikan Nila sementara saat bersamaan saya sedang berada di sebuah teritori Indonesia yang lain.

Kematian mendadak itu segera saja menghamburkan bayang-bayang kegagalan. 

Begitu perahu kelotok tiba di desa, saya langsung saja bergegas naik di batang rakit dan menuju salah satu keramba. Dua orang pemuda sedang sibuk dengan alat-alat pertukangan di atas rumah panggung. Mengetahui saya datang, mereka tersenyum sebentar lalu sibuk kembali. Saya langsung saja menuju keramba yang mengapung dekat dengan batang rakit tersebut. Lalu duduk dan melihat isi di dalam keramba tersebut.

“Sudah berapa yang mati sampai hari ini?,” teriak saya.

“Sudah sekitar 60-an, seminggu pertama ini. Kemarin dikasih bonus 200-an bibit, jadi totalnya tidak 7000 bibit.” Jawab salah satu saudara saya itu.

Tak lama kemudian, datang seorang perempuan membawa pakan dan selembar catatan. Sembari menaburkan pakan ia menceritakan catatan kematian ikan yang dirangkumnya dalam seminggu pertama sejak dilepas ke dalam keramba tanggal 30 Desember kemarin.

Saya menyimak sebentar lalu memusatkan pandang ke dalam keramba, di bawah sana, ramai anak-anak ikan sebesar ruas kuku orang dewasa asik berebutan pakan yang mengapung.

“Gimana dengan yang mati di kelompok tiga?” tanya saya kemudian.

“Ya itu Ji. Anggota kelompok sudah mengumpulkan uang, swadaya, mereka mau beli bibit lagi sejumlah yang mati itu.” terang perempuan yang kini duduk bersama di atas keramba.

“Berapa banyak persisnya yang mati?”

“5000 lebih Ji.”

Waduh, lebih dari setengah, batin saya.

“Iya, saya mau ke sana, kita nanti pertemuan ya Bu.” jawab saya kemudian bergegas ke arah hulu desa dimana 5000 bibit ikan Nila mati mendadak. Andai kematian anak manusia, masih mungkinkah kami sanggup menghadapi kenyataan ini?

Sesampai di hulu, langsung saja yang menuju lokasi keramba. Seorang Bapak sedang bersiap mandi. Melihat saya datang, ia menunda sebentar, menuntun langkah ke keramba. Saya menghampiri, menjabat tangan dan tersenyum.

“Bah, apa kabar?,”tanya saya.

“Bahalap ja.” Jawabnya lagi.

“Alhamdulillah.”

Kami lalu duduk di atas karamba, tutupnya dibuka. Saya menengok ke dalam, sepi-sepi saja. Jam makan memang sudah lewat. Bapak ini lalu bercerita sebab apa yang membuat kematian mendadak itu datang.

Menurut analisisnya, kematian itu dikarenakan letak keramba yang berada dekat muara anak sungai yang tersambung dengan lahan pertanian padi ladang warga desa. Pagi ketika ikan dilepas, sore harinya turun hujan deras yang membuat air berwarna putih. Kemungkinan warna putih itu adalah racun yang dibawa air hujan dari dalam ladang pertanian atau juga sisa gambut terbakar. Barangkali tingkat keasaman air mendadak berubah dan membuat anak-anak Nila yang malang itu mengalami kematian dalam jumlah massal.

Saya tidak menjawab apa-apa. Diam dan menduga-duga. Bisa jadi benar karena sesudah dipindah ke bagian hulu muara anak sungai itu, tak ada lagi kematian datang dalam jumlah massal.

“Kita di kelompok tiga sudah patungan, mau beli bibit yang baru lagi. Cemburu juga lihat ikan di kelompok satu dan dua yang ramai rebutan makan. Sempat juga hilang semangat tapi kami mau mencoba lagi. Hanya saja (pembelian bibit itu) lebih cepat lebih baik.” Jelas si Bapak kemudian.

“Iya Bah.” hanya itu jawab saya. saya tidak berada di tempat ketika anak-anak Nila dilepas dan juga tidak menemani mereka ketika kematian itu datang. Tambah lagi tidak menguasai analisis yang lebih baik tentang kualitas air, lengkaplah sudah keawaman saya.

Saya lalu naik ke rumah papan, si Bapak melanjutkan rencana mandinya. Hari mulai gelap.

“Apa kabar Bu, sehat-sehat saja kah?,” tanya saya ketika Ibu itu datang menghampiri beberapa saat kemudian.

“Iya, sehat-sehat saja. Duduk dululah.” Kata Ibu tersebut, lalu ke belakang. Tak lama kemudian, seteko sedang teh panas manis tersaji. Saya sendiri kini sibuk dengan cemas dan bayang-bayang kegagalan.

Yang pertama menyembul dalam kecemasan itu adalah perhitungan ekonomi. Tentang uang yang sudah dikeluarkan dan kerja yang sudah disumbangkan. Kedua tentang proses yang sudah dilewati untuk merumuskan rencana dan membangun kesepakatan dengan pihak ketiga (swasta) dalam program budidaya ikan Nila media keramba. Ketiga, bayangan kesulitan ekonomi yang masih terus mendera warga desa sejak zaman kayu berlalu jika usaha bersama yang baru dimulai ini gagal berantakan.

Budidaya Nila ini memang bukan jalan keluar utama dan bukan satu-satunya. Ia hanya sebuah jalan dari inisiatif sederhana yang dirumuskan warga desa yang memiliki harapan besar perbaikan kehidupan ekonomi mereka. Ini bukan harap yang harus ditanggapi air mata menderai-derai sebab di pelosok Indonesia yang luas ini, kondisi yang sama masih mudah ditemui. Ini lebih pada soal ada bersama mereka atau tidak, terlibat di dalam atau berjarak.

Malam terus menutup langit desa. Tak ada obrolan panjang dengan si Bapak yang saya panggil Abah. Ia harus pergi mencari udang untuk sekedar mengumpulkan rupiah setiap hari. Aktifitas yang sudah dijalani bahkan sejak zaman kayu masih mudah diburu.

Saya kemudian tertidur di ruang tamu rumah papan itu. Hawa dalam rumah terasa sumuk tanda akan datang hujan.

***
Pagi, pukul 06.10 WIB.

Di atas keramba, sudah ada si Bapak dan seseorang yang lebih muda sedikit. Mereka sedang memberi makan anak-anak Nila. Melihat saya datang, mereka lalu berdiri, yang lebih muda itu menjabat tangan dan tersenyum.

“Sehat Bang?,” tanya saya.

“Bagus ja.” Jawabnya.

Dan kami bertiga kemudian tersedot pada satu obyek yang sama, ikan-ikan Nila yang memakan pakan apung itu. tak ada keramaian seperti pada keramba kelompok yang saya lihat kemarin sore. Kematian ribuan teman mereka telah membuat suasana dalam keramba menjadi sepi.

“Ji, lihat itu. Sepi, beda dengan dua keramba yang lain. Cemburu juga melihat kondisi begini. ” kata si Abah.

“Jadi gimana jalan keluarnya?,” tanya saya lagi.

“Kita beli bibit lagi Ji,anggota kelompok sudah patungan. Hanya masih butuh sumbangan dana dari lembaga.” Kata si Abang, yang juga ketua kelompok.

Lembaga yang dimaksud adalah organisasi payung yang membawahi kelompok budidaya ikan Nila ini. Mereka dipilih oleh warga desa dan memimpin kerja organisasi sesuai dengan rencana kerja dan pembiayaan yang sudah disusun dan disepakati dengan pihak ketiga.

“Oke Bang. Berarti secepatnya kita pertemuan ya?” tanya saya lagi.

“Iya, lebih cepat lebih baik. Kita harus mengejar pertumbuhan bibit yang pertama agar jarak panennya tidak terlalu jauh.” Jawabnya menjelaskan.

Saya mengangguk saja. “Oke Bang.”

“Sebenarnya kami sempat juga hilang semangat. Tapi kami tahu kalau tidak ada yang bisa disalahkan. Matinya bibit Nila yang ribuan itu salah kita semua. Tidak ada gunanya saling menyalahkan. Kita harus coba lagi, namanya juga baru memulai. Anggota yang lain juga mau menyumbang untuk pembelian bibit yang baru. Walau hanya seratus ribu rupiah, jumlah kecil, tapi kau tahu kan cari duit segitu susah sekali sekarang. Hehehe.” jawab Abah sambil terkekeh.

“Iya Ji. Kemarin saja waktu bibit ini dilepas, banyak sekali yang mau bikin keramba. Insya Allah jika permulaan ini berhasil, ada contoh yang bikin mereka yakin dengan budidaya nila. Jadi anggap saja ini pembelajaraan semua walau korbannya ribuan bibit, hehehe.” kali ini si Abang, ketua kelompok yang menjawab sembari terkekeh.

Mereka berdua, sepertinya sudah selesai dengan gundahnya. Mereka seperti mau bilang kita fokus pada solusi dan kehendak untuk terlibat menghadapi masalah bersama, apalagi sebagai “pemula” dalam suatu rancangan usaha.

Keberhasilan usaha ini bukan milik milik tiga kelompok. Ia akan mewakili keberhasilan warga desa. Dan yang paling penting, saya melihat cahaya semangat yang tidak redup lekas-lekas. Cahaya yang penting sekali disambut gairahnya ketika berhadapan dengan kesulitan harian dan kemiskinan yang rentan menghantar manusia menjadi fatalistik atau anarkis.

“Ya Insya Allah saja kematian ikan-ikan ini untuk menguji semangat kami agar lebih bekerja keras dan berhasil panen nanti.”

Satu lagi pokok yang mereka terangkan: berdoa dan berusaha, ikhtiar dan tawwakal.

***
Sesudah pukul tujuh malam.

Pertemuan sederhana itu dilaksanakan dengan duduk lesehan, tak ada kursi dan meja. Pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan kelompok dan pengurus lembaga pelaksana. Sesudah mendengar penjelasan dari wakil kelompok yang “kena musibah” kematian itu, mereka bersepakat untuk menyumbang dana dan membeli bibit nila yang baru dalam waktu dekat. Jalan keluar itu dipilih bersama.

Kecemasan karena ikan Nila yang mati ribuan sudah dibagikan dalam pertemuan tersebut. Tidak ada yang menolak sumbangan dana dari pengurus lembaga. Mereka semua memiliki rasa prihatin dan tetap berkeinginan jika berhasil, maka harus berhasil bersama-sama pula. Masih ada tantangan-tantangan lain yang menyambut sesudah kematian Nila dalam jumlah banyak ini.

“Kita jangan bekerja sendiri-sendiri, harus menjaga kekompakan. Insya Allah usaha permulaan kita ini bisa berhasil dan berkembang sehingga warga yang lain juga bisa ikut merasakan manfaatnya.” kata Ketua Lembaga menutup pertemuan.

Sebuah ajakan dan doa yang sederhana saja. Doa sederhana yang merawat harap di atas keramba.

Selamat sore, salam!

 

[Katingan, Kalteng. 2016]

***
Bahalap = baik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun