“Berapa banyak persisnya yang mati?”
“5000 lebih Ji.”
Waduh, lebih dari setengah, batin saya.
“Iya, saya mau ke sana, kita nanti pertemuan ya Bu.” jawab saya kemudian bergegas ke arah hulu desa dimana 5000 bibit ikan Nila mati mendadak. Andai kematian anak manusia, masih mungkinkah kami sanggup menghadapi kenyataan ini?
Sesampai di hulu, langsung saja yang menuju lokasi keramba. Seorang Bapak sedang bersiap mandi. Melihat saya datang, ia menunda sebentar, menuntun langkah ke keramba. Saya menghampiri, menjabat tangan dan tersenyum.
“Bah, apa kabar?,”tanya saya.
“Bahalap ja.” Jawabnya lagi.
“Alhamdulillah.”
Kami lalu duduk di atas karamba, tutupnya dibuka. Saya menengok ke dalam, sepi-sepi saja. Jam makan memang sudah lewat. Bapak ini lalu bercerita sebab apa yang membuat kematian mendadak itu datang.
Menurut analisisnya, kematian itu dikarenakan letak keramba yang berada dekat muara anak sungai yang tersambung dengan lahan pertanian padi ladang warga desa. Pagi ketika ikan dilepas, sore harinya turun hujan deras yang membuat air berwarna putih. Kemungkinan warna putih itu adalah racun yang dibawa air hujan dari dalam ladang pertanian atau juga sisa gambut terbakar. Barangkali tingkat keasaman air mendadak berubah dan membuat anak-anak Nila yang malang itu mengalami kematian dalam jumlah massal.
Saya tidak menjawab apa-apa. Diam dan menduga-duga. Bisa jadi benar karena sesudah dipindah ke bagian hulu muara anak sungai itu, tak ada lagi kematian datang dalam jumlah massal.