[Bilangan tahun lima puluhan, satu dasawarsa sebelum huru-hara politik-militer meletakkan sebuah negara baru merdeka ke dalam tragedi paling berdarah, sepuluh orang mahasiswa dikirim dari negeri Paman Sam dengan kapal laut. Mereka adalah intelektual muda dari Universitas Harvard, berlayar jauh demi tugas meneliti di sebuah negeri. Negeri itu terletak di sebuah tikungan Asia Tenggara yang baru saja lepas bertahan dari tangan kolonial. Salah satu dari sepuluh orang mahasiswa itu kemudian menulis disertasi yang disebut merupakan karya etnografi sangat lengkap saat itu. Karya etnografi yang menyentuh tema budaya, politik dan agama juga sejarah. Disertasi tersebut menjadi karya besar dan berpengaruh berpuluh tahun kemudian. Mahasiswa itu sebelum akhir hayat dan pegabdian kerja intelektualnya menulis refleksi diri berjudul After the Fact; Two Countries, Four Decades, One Anthropologist (1995)]
***
Setiap karya tulis selalu memiliki cerita di baliknya yang tak jarang sering lebih seru dari karya itu sendiri. Apalagi jika karya tulis tersebut kemudian menjadi bacaan yang memiliki pengaruh luas dan dinilai sebagai karya besar untuk dunia berikut dengan kritik-kritik yang menyerangnya.
Demikian juga api semangat yang sedang tumbuh dalam hati Ashari, muda, lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) yang masih nganggur. FISIP, tempat belajar yang tak jarang “dikutuki” sebagai ilmu santet dan pelet. Sebab alumni FISIP seringkali hidup dengan “menjual komentar” yang menghipnotis, terlebih jika sudah soal yang paling misterius di Indonesia, politik namanya. Kalau tidak begitu, maka alumni FISIP akan bernasib sebagai makelar proposal yang warawiri di kantor Bupati atau ruang tunggu gedung DPRD kabupaten. Begitulah asal usulnya mengapa alumni FISIP sering juga disamakan dengan dukun di dunia politik. Kasihan.
Namun Ashari menolak stereotype itu, apalagi jika yang mengatakannya anak Fekon, yang mahasiswinya terkenal dimana-mana, tidak penting kampus negeri atau swasta, terkenal : segar-manis-harum seolah mangga madu, yang kadang-kadang juga suka dimadu.
Ashari bertekad mengirim dirinya sendiri ke pinggiran perbatasan Indonesia untuk melawan pelabelan sepihak atas sarjana Sospol. Ia ingin menjadi salah satu perintis yang melahirkan karya dalam masyarakat dan budaya yang berubah cepat. Ia ingin hadir dan hidup di tengah masyarakat, membaca dinamika sosial budaya negeri kepulauan dengan menelusuri dunia batin manusianya. Khususnya hidup manusia yang lebih kenal barang-barang dari negara lain ketimbang produsen dalam negeri sendiri, manusia itulah mansusia di perbatasan yang digiring memasuki tekanan regionalisme ekonomi-politik-keamanan berjudul Masyarakat Ekonomi Asean.
Maka ia merencanakan akan mengirim dirinya ke Sulawesi Utara, ke Pulau Miangas, yang terletak di ujung paling utara Nusantara. Ashari sangat ingin hidup bersama masyarakatnya dan meneliti, memahami sudut pandang mereka akan dunia yang berubah.
Untuk mewujudkan tekadnya, maka ia mempersiapkan dirinya dengan baik. Paling utama adalah mempersiapkan kemampuan dalam menggunakan teori dan metode penelitian, mengumpulkan sumber-sumber bacaan tentang masyarakat di Pulau Miangas, sejarah dan situasi kekiniannya, merencanakan rute yang akan ditempuh, dan mengumpulkan logistik untuk bertahan di beberapa bulan pertama.
Ia ingin datang tanpa membawa banyak kategori berat di isi kesadarannya, ingin datang sebagai seorang dengan kesadaran diri layaknya fenomenolog, melepas semua kategori, memberi tanda kurung pada semua jendela pandang. Lepaskan kenyataan itu bicara dengan caranya sendiri!
“Saya akan lewat Tanjung Priok, sekitar 4 hari perjalanan, tiba di pelabuhan Bitung. Dari situ, dengan angkutan kota menuju terminal Tangkoko, lalu dengan bis, menuju pelabuhan Manado sekitar 1 jam perjalanan. Jika cepat, saya bisa menggunakan kapal cepat menuju Pulau Miangas.”
Rencana perjalanan itu dibacakannya sembari menelisik peta Sulawesi Utara dan membuat garis biru sebagai tandanya.
“Tapi...siapa penghubung penduduk lokal saya disana?,” gumamnya.
Ashari bingung sendiri. Atau, langsung saja ke penginapan? Apakah ada penginapan di sana?
Maka bersibuklah jemarinya berselancar untuk mengecek kondisi penginapan yang akan menjadi home base selama beberapa hari sebelum menemukan rumah yang bisa ditinggali selama menuntaskan tekad menelisik ruang batin masyarakat Miangas.
Tak ada informasi spesifik. Miangas bukan Raja Ampat walau sama merupakan wilayah kepulauan. Bahkan posisinya sebagai “wilayah perdagangan bebas” dengan Philipina pun kurang menarik. Selain wilayah perbatasan paling utara Indonesia, tak ada kabar lain tentang fasilitas penginapan di pulau ini.
Ah, bodoh amat! Berangkat saja, tidakkah daya dorong awal pelayaran maritim manusia Eropa itu ambisi, keserakahan dan kenekadan?
......
Ashari, dengan tiket berwarna hiijau, berdiri antri di bawah lambung kapal kuning kecoklatan yang dibeli dari Jerman. Tetiba di lantai dek IV, Ashari lalu berjalan ke belakang, menuruti rasa penasarannya akan poros baling-baling yang mendorong kapal melewati tarian gelombang. Ia memilih tidak melihat pelabuhan, itu hanya akan menghadirkan rindu yang tidak perlu.
Sebentar di belakang dek IV, ia memutuskan naik ke dek VII, agar boleh melihat putaran baling-baling itu kala melepaskan tubuh kapal dari bibir pelabuhan. Langkah membawanya tiba di ruang terbuka sebuah kafetaria. Sepi, para pengunjungnya sedang sibuk melihat suasana di bawah sana, pada hilir mudik kendaraan dan penumpang yang turun.
Ashari duduk di pagar kapal. Memandang laut yang tak ada ujung. Kapal kemudian berlayar pelan.
Kafetaria itu lalu ramai lagi. Sebuah lagu Manado menemami gerak pelayaran berikutnya,
Siapa bilang pelaut mata karanjang, kapal bastom, lapas tali, lapas cinta...
Ashari tetap diam, duduk di atas pagar, memandang buih yang menyeruak dari kipasan baling-baling.
Angin laut yang asin membawa kantuknya. “Saya butuh tidur.”
....
“Mas...Mas...bangun...”
Suara pelan dengan dorongan tangan di pundaknya itu membuat Ashari membuka matanya. Dari bola mata yang memerah, seorang pria berjanggut dengan baju serba putih, duduk berjongkok.
“Bangun Mas, jangan tidur di sini, ini tempat shalat.” kata laki-laki itu lagi.
Ashari kaget, lalu duduk. Mengembalikan kesadarannya. Ia lalu melangkah ke belakang, mengambil wudlu, kesegaran yang menghilangkan kantuk dan menghilangkan kaget barusan. ia lalu kembali pada ruangan utama dan menunggu orang-orang yang datang untuk shalat berjamaah.
Sesudah mengucap dua salam, ia bergegas keluar, kembali ke kafetaria, kembali ke pagar, duduk memandang jejak yang segera hilang dalam irama gelombang. Ashari telah menyerupai kebiasaan kolektif penumpang ekonomi yang tidak kebagian tempat tidur dalam kapal yang sesak : tidur sembarang dan sering nongkrong di kafetaria.
Tak disadarinya, seorang pria bule, dengan rambut memutih keperakan dan dagu yang bersih, dalam setelan santai, datang menghampiri pagar itu. Ashari masih asik sendiri, membayangkan kesan pertama yang ia akan rasakan ketika kapal cepat dari pelabuhan Manado membawanya ke Miangas.
“Selamat sore..” sapa bule itu. Ashari berbalik, lalu melompat turun. “Selamat sore Mister.” Jawabnya lekas, setengah disesapi rasa tak sopan di depan orang asing.
“Siapa nama Anda ?,” tanyanya lagi dengan tangan yang mengajak jabatan.
“Ashari Mister, Ashari. Mister siapa?,” balas Ashari sambil membalas ajakan jabatan.
“Oh, Ashari, Bagus sekali. Saya John, John Perkins. Jangan panggil Mister, panggil nama saya saja, Jhon, oke?,” katanya sambil tersenyum bersahabat.
Ashari terdiam, merapal ingatannya. John Perkins, sepertinya familiar, seperti pernah dengar, tapi dimana ya?
“Saya dari Amerika, hendak ke Manado, Sulawesi Utara. Kau?”
Ashari bengong. Kenapa bule ini memilih naik kapal laut, tidakkah ia bisa memilih penerbangan kelas satu dan tiba lebih cepat? Tapi yang bikin ia terbenam sibuk dengan ingatannya yang samar adalah nama orang itu. J-O-H-N- P-E-R-K-I-N-S, ia mengeja dalam tanya. Rasanya pernah ketemu, tapi dimana?
“Halo..Ashari?,” bule itu menyapa lagi, secara sengaja ia ingin mengeluarkan Ashari bengongnya.
‘Oh ya, iya Mister..Iya..Anda mau ke Manado, Sulawesi Utara ya? Saya? Hmm, saya juga hendak ke sana, kita sedang menuju pelabuhan yang sama. Mengapa Anda tidak naik pesawat saja?,” sambil cengengesan, ia menjawab.
“Hahaha, saya lebih tertarik naik kapal laut, lebih bisa melihat langsung bagaimana orang-orang biasa berbagi ruang dalam pelayaran. Wah, bagus sekali. Berarti kita bisa menjadi kawan sepelayaran. Kita bisa saling berbagi cerita. Ashari, apa yang membawamu kesana? Kau bekerja di Manado?,” tanya John lebih jauh.
“Saya hendak ke Miangas, sebuah pulau di ujung utara negeri ini Mister. Hendak mencari tahu seperti apa kehidupan masyarakatnya.”
“Oh, kau seorang peneliti. Bagus sekali.”
“Bukan, saya seorang sarjana yang baru saja lulus dari universitas. Saya hanya ingin melayani rasa ingin tahu saja, Mister. Saya hendak mencari jawab tentang yang sedang dipikirkan masyarakat disana ketika kesepakatan Masyarakat Ekonomi Asean mulai berjalan. Anda sendiri Mister, apa yang lakukan di Manado?”
“Oh ya.. Saya lebih tepatnya akan ke Bitung, Manado hanya untuk singgah sebentar. Saya hendak melihat peluang bisnis di sana. Lalu dari Bitung, saya akan ke Moratai, Maluku Utara. Bitung dan Morotai adalah wilayah depan Indonesia yang akan menopang perwujudan poros maritim pemerintah hari ini bukan?”
Ashari terdiam. Penjelasan terakhir si Mister bernama John ini memberi cahaya ingat yang tadi tersimpan entah dimana.
“Mister John, John Perkins, saya seperti pernah mendengar nama Anda, saya lupa-lupa ingat. Tapi rasa-rasanya nama yang akrab?,” Ashari bersuara dengan bingung yang belum pergi.
Tetiba saja seluruh suasana kapal, manusia kafetaria, lagu balada Manado dan laut mengabur. Hilang. Musnah.
***
Ashari kaget, lekas duduk diantara tumpukan dokumen dan buku-buku, lalu menghapus jejak tetes air di pelupuk matanya. Ia menengadah, melihat plafon kamar kostnya, ada lingkaran coklat kecil di sana, bocor yang sudah lama. Tetes air hujan Januari 2016 membangunnya dari tidur sore. Di kalender, tanggal masih muda sekali, kiriman itu belum lagi datang dari ayahnya, seorang nelayan kecil di pulau Samate, Raja Ampat. Sarjana muda memang masih sering menetek ke rumah, kelulusannya seperti bayi yang terlahir kembali, belum mandiri. Karena itu Ashari lebih sering menghalau lapar harian dengan tidur sembari menganggur.
Ashari bergegas ke belakang, ke dapur dan mengambil baskom kecil untuk menampung tetesan air dari plafonnya. Ia senyum-senyum sendiri, barusan saja ia sedang dalam keseruan menyiapkan perjalanan dan berada di kafetaria kapal yang dihangati syair balada dari Manado dan berbincang dengan seorang pria Amerika yang ramah. Siapa tadi namanya ya? James? John? Joshua?
“Ah, saya terlalu berambisi sehingga keinginan di dunia nyata menjadi bertimbun di bawah sadar,” gumam Ashari. Ia baru bermimpi siang hari.
Ia lalu kembali ke kamar membawa baskom, ketika tiba di depan pintu, matanya membesar. Tercekat. Buku terjemahan berjudul After the Fact yang dibacanya sebelum tertidur itu telah tiada dari tempatnya.
Di atas tumpukan dokumen, kertas dan buku-buku itu yang menjadi kasurnya tadi, buku Pengakuan Bandit Ekonomi, dengan nama pengarangnya ditulis besar John Perkins, kini tergeletak dengan halaman terbuka disana.
Di kamar kos sebelah, Halid, kawan sekampung yang masih sibuk sama skripsi akhirnya di Fakultas Teknik, memutar lagu milik Iwan Fals yang menyertai rinai hujan bulan Januari. Hanya mereka berdua yang tersisa di kos menunggu penghujung libur Natal dan Tahun Baru berlalu.
Garuda bukan burung perkutut, Sang Saka bukan sandang pembalut..
[Kotawaringin Timur, Kalteng, Januari 2016]
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H