Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] After The Fact

3 Januari 2016   12:09 Diperbarui: 3 Januari 2016   13:51 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Tapi...siapa penghubung penduduk lokal saya disana?,” gumamnya.

Ashari bingung sendiri. Atau, langsung saja ke penginapan? Apakah ada penginapan di sana?
Maka bersibuklah jemarinya berselancar untuk mengecek kondisi penginapan yang akan menjadi home base selama beberapa hari sebelum menemukan rumah yang bisa ditinggali selama menuntaskan tekad menelisik ruang batin masyarakat Miangas.

Tak ada informasi spesifik. Miangas bukan Raja Ampat walau sama merupakan wilayah kepulauan. Bahkan posisinya sebagai “wilayah perdagangan bebas” dengan Philipina pun kurang menarik. Selain wilayah perbatasan paling utara Indonesia, tak ada kabar lain tentang fasilitas penginapan di pulau ini.

Ah, bodoh amat! Berangkat saja, tidakkah daya dorong awal pelayaran maritim manusia Eropa itu ambisi, keserakahan dan kenekadan?

......

Ashari, dengan tiket berwarna hiijau, berdiri antri di bawah lambung kapal kuning kecoklatan yang dibeli dari Jerman. Tetiba di lantai dek IV, Ashari lalu berjalan ke belakang, menuruti rasa penasarannya akan poros baling-baling yang mendorong kapal melewati tarian gelombang. Ia memilih tidak melihat pelabuhan, itu hanya akan menghadirkan rindu yang tidak perlu.

Sebentar di belakang dek IV, ia memutuskan naik ke dek VII, agar boleh melihat putaran baling-baling itu kala melepaskan tubuh kapal dari bibir pelabuhan. Langkah membawanya tiba di ruang terbuka sebuah kafetaria. Sepi, para pengunjungnya sedang sibuk melihat suasana di bawah sana, pada hilir mudik kendaraan dan penumpang yang turun.

Ashari duduk di pagar kapal. Memandang laut yang tak ada ujung. Kapal kemudian berlayar pelan.

Kafetaria itu lalu ramai lagi. Sebuah lagu Manado menemami gerak pelayaran berikutnya,
Siapa bilang pelaut mata karanjang, kapal bastom, lapas tali, lapas cinta...

Ashari tetap diam, duduk di atas pagar, memandang buih yang menyeruak dari kipasan baling-baling.

Angin laut yang asin membawa kantuknya. “Saya butuh tidur.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun