Kompasiana, 30 Januari 2015, pukul 16:47:09 WIB.
Ada sebuah teks pendek, artikel berciri memorial, yang berjudul Bapakku, Geertz dan Aku. Tulisan ini mengenang kisah seorang anak muda, mahasiswa di Yogyakarta, yang mengumpulkan karya-karya Geertz, antropolog besar asal Amerika Serikat.
Antropolog Geertz menulis tentang Indonesia, khususnya masyarakat dan budaya di Jawa dan Bali. Usaha mengumpulkan karya-karya Geertz itu adalah permintaan ayahnya yang lebih menikmati karya antropolog lulusan Harvard ini dalam bahasa Inggris. Anak muda itu Jati Kumoro namanya.
Ada kemiripan masa lalu saya dengan anak muda ini kalau membicarakan mengumpulkan karya Geertz.
15 tahun lalu, Manado hanyalah sebuah kota pantai kecil dengan tiga lokasi keramaian. Pertama, Matahari Dept. Store—tempat dimana saya pertamakali mengenal eskalator, hihihi-- yang gedungnya kini menjadi rumah sakit Siloam Internasional, lalu pasar 45, pusat pedagang kaki lima khususnya untuk pakaian bekas impor, dan ruas jalan Boulevard yang terletak di pusat teluk Manado, lokasi pedagang kaki lima untuk kuliner.
Manado saat itu belum punya toko buku Gramedia. Seingat saya hanya ada toko buku Utama, yang terletak di wilayah Shopping, masih satu wilayah dengan pasar 45, lalu satu toko buku di wilayah jalan Sam Ratulangi (SamRat).
Satu lagi toko buku yang menjual buku-buku rohani Kristen di dekat wilayah Ranotana, dan satu warung buku kecil di dalam kompleks pasar-terminal Ranotana, menjual buku terbitan Kanisius.
Perjumpaan mula-mula saya dengan karya Geerzt terjadi secara tidak sengaja di salah satu toko buku kecil di Manado. Sebuah jumpa yang sangat terlambat dan sarat keterbatasan.
Ketika itu saya sedang berada di toko buku Utama, toko buku kecil dengan kebanyakan buku bertema Islam. Di sebuah pojok, saya menemukan karya Geertz yang membahas kondisi masyarakat pertanian Jawa yang menanggung akibat sistem Tanam Paksa. Buku tipis itu bersampul warna hijau, berjudul Involusi Pertanian.
Pertemuan ini kemudian membawa saya menemukan lagi Tafsir Kebudayaan Geertz lalu Agama dan Kebudayaan di toko buku kecil yang terletak di ruas jalan Samrat itu. Yang paling terakhir dan satu-satu yang tersisa dari Geertz adalah buku After the Fact dengan pengantar Ignas Kleden yang saya temukan di Ternate, Maluku Utara.
Selebihnya, koleksi saya raib dicuri adik tingkat di Kampus sebagai hukum pembalasan atas kenakalan saya meminjam buku di di perpustakaan kampus tanpa pernah mengembalikan. [Hiks..hiks..]
Jauh berbeda dengan Yogyakarta, salah satu pusat berhimpunnya intelektual Indonesia, yang memiliki Shopping Centre dimana segala macam buku dapat diperoleh dengan harga miring, Manado adalah sebuah kota dimana ketersediaan buku sangat terbatas. Memang ada perpustakaan daerah yang terletak di bilangan Tikala namun dengan koleksi terbatas dan update yang agak terlambat.
Membaca kesaksian pemuda itu, sesungguhnya saya iri hati tanpa menyalahkan keadaan. Saya jadi ingin sekali bertamu ke rumah pemuda itu, kalaulah bisa, bertemu langsung ayahandanya dan berdiskusi mengapa beliau begitu tertarik terhadap karya-karya Geertz.
Geertz, sependek saya tahu, adalah pemikir yang diakui meletak dasar-dasar ilmu sosial modern, khususnya antropologi budaya, dalam kultur intelektual Indonesia.
Bahwa Geertz belakangan banyak dikritik karena ketidaktepatan pembedaan santri, priyayi dan abangan yang legendaris itu, ia tetap salah seorang intelektual besar yang memberi jejak kajian penting di awal-awal pembentukan ilmu sosial modern di Indonesia.
Dan saya kira Jati Kumoro memiliki warisan itu sebagaimana terbaca dalam sudut pandangnya yang sosio-kultural minded di tulisan-tulisannya (cieeeh, biar keren saya tambahi sedikit bahasa penjajah, heuheuheu).
Di Kompasiana, salah satu K'ers yang secara sengaja menggunakan cara pandang Geertz, yang disebut Thick Description atau “pelukisan mendalam”, adalah Om Felix Tani.
Ada kesan kuat jika Om Felix Tani adalah sosiolog cum petani yang berdiri dalam tradisi berfikir Max Weber, salah satu “nabi” dari tiga peletak dasar sosiologi Modern selain Karl Marx dan Emile Durkheim.
Sementara Jati Kumoro, agak berbeda, warna sosio-kulturalnya makin nendang dengan pelukisan sejarah, khususnya narasi kerajaan, Wayang dan Keris selain humor-humornya yang bermateri seksualitas manusia.
Begitulah yang saya rasakan [maaf jika salah, murid kan memang selalu salah, hehehe].
Perjumpaan Jati Kumoro muda dengan karya Geertz yang jauh “lebih komplit” dibanding saya membuat saya harus meletakkannya sebagai seorang yang seharusnya dihormati.
Akan tetapi sumber penghormatan terbesar saya adalah kepedulian dirinya menulis lagi kisah-kisah wayang dan keris. Saya tidak bisa mengurai satu-satu tulisannya tentang wayang dan keris karena membaca tentang dua tema ini membawa saya pada ketidaktahuan luar biasa, persis seperti membaca tema-tema teknologi terapan di Kompasiana.
Membaca wayang dan keris membuat saya tahu diri, saya hanyalah seorang pemula yang awam lagi buta. Dan Jati Kumoro membantu saya belajar mengenali sisi yang lemah itu melalui pergaulan tulisan di rumah Kompasiana dimana sangat sedikit K’ers yang berminat pada narasi sejarah.
Awalnya, sebelum Jati Kumoro mempublikasi artikelnya ketika berkunjung ke situs purbakala di Sangiran, saya menduga sosok di balik akun berprofile-picture kucing warna mermud itu sudah sepuh.
Ternyata oh ternyata, sosok itu seperti pinang dibelah pisau dengan Ebiet. G Ade, heuheuheu, makin salut wis!
Sosok yang selama ini sesekali menceritakan kisah pewayangan secara kikir adalah ayah saya sendiri, seorang Jawa yang kembali “belajar Jawa” sebab hampir setengah hidupnya dilewati menjadi manusia Papua.
Mendengar cerita ayah seringkali saya nikmati secara sambil lalu dan hanya terjadi ketika kami sedang berkumpul. (Ironisnya, Jawa adalah rumah leluhur-budaya dari garis Ayah yang seharusnya didalami dengan benar,sementara bahasa Jawa ngoko saja saya gagap, wadoow!).
Tulisan tentang wayang dan keris Jati Kumoro memang belum membuat saya faham seutuhnya, walau begitu ini membantu saya “mengeja” pelan-pelan.
Untuk kebutuhan belajar budaya ini, saya sungguh merasa terbantukan sebab saya adalah pelaku diaspora Nusantara --(istilah untuk mengeren-ngerenkan diri sendiri demi menghalau galau karena rencana diaspora ke luar negeri gagal terus,hiks. hiks).
Dalam kesadaran subyektif saya "baru hidup" seorang Papua, seorang Maluku, dan seorang Sulawesi, tiga lokasi kebudayaan dimana saya banyak menghabiskan waktu belajar.
Saya masih membutuhkan belajar Jawa dan Kalimantan, lokasi budaya yang kini sedang saya hidupi, untuk menyempurnakan puzzle keIndonesiaan dalam diri sendiri.
Anda boleh bilang ada teks yang berjumlah ribuan atau bahkan jutaan tentang sejarah kerajaan, wayang dan keris yang ditulis oleh para ahli di luar sana dengan kajian yang mungkin lebih kompleks, tapi bagi saya tulisan seorang Jati Kumoro tetaplah sebuah bantuan yang saya butuhkan, lagi pula gratis. Hahaha.
So, yang menjadi point utama pengikat seluruh kesaksian ini adalah : Siapa saja, tidak penting latar belakangnya apa, tapi jika mereka yang membantu saya memahami dunia yang tidak saya pahami itu akan selalu spesial. Mereka yang seperti ini telah membantu saya mengenali sisi yang lemah dari banyak kelemahan diri karena masih sering malas dan menunda belajar lebih dalam lagi. Inilah makna hakiki Guru buat saya.
Jika begini ukurannya, berarti ada banyak K’ers yang seharusnya menjadi guru saya?
Tentu saja buanyaak sekali, kebanyakan masih aktif dan beberapa lagi sudah hengkang entah kemana. Tapi saya tidak bisa menuliskan mereka semua dalam satu kesempatan, mungkin nanti, semoga saja.
Sebelum menutup, mengutip K’ers Cinta, perlu dicatat, saya menulis kesaksian ini dari hati yang Insya Allah jujur dan tulus. Saya tidak sedang menyusun kesaksian dengan semangat glorifikasi diri yang kekanak-kanakan kepada Jati Kumoro. Tidak ada niat seperti itu.
Saya sudah menyapa dirinya dengan Guru, walau belum membaca seluruh tulisannya, namun merasa harus menjelaskan alasan mendasar di balik “pengangkatan yang tanpa SK” tersebut [dimana-mana juga murid yang diangkat guru, bukan sebaliknya keleees..tapi kali ini, relakanlah saya mengangkat Guru...please!].
Begitulah adanya Jati Kumoro di mata saya. Semoga Allah SWT memberi kesempatan kita bertemu langsung suatu saat nanti. Aamiin.
Selamat pagi, salam!
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H