Selebihnya, koleksi saya raib dicuri adik tingkat di Kampus sebagai hukum pembalasan atas kenakalan saya meminjam buku di di perpustakaan kampus tanpa pernah mengembalikan. [Hiks..hiks..]
Jauh berbeda dengan Yogyakarta, salah satu pusat berhimpunnya intelektual Indonesia, yang memiliki Shopping Centre dimana segala macam buku dapat diperoleh dengan harga miring, Manado adalah sebuah kota dimana ketersediaan buku sangat terbatas. Memang ada perpustakaan daerah yang terletak di bilangan Tikala namun dengan koleksi terbatas dan update yang agak terlambat.
Membaca kesaksian pemuda itu, sesungguhnya saya iri hati tanpa menyalahkan keadaan. Saya jadi ingin sekali bertamu ke rumah pemuda itu, kalaulah bisa, bertemu langsung ayahandanya dan berdiskusi mengapa beliau begitu tertarik terhadap karya-karya Geertz.
Geertz, sependek saya tahu, adalah pemikir yang diakui meletak dasar-dasar ilmu sosial modern, khususnya antropologi budaya, dalam kultur intelektual Indonesia.
Bahwa Geertz belakangan banyak dikritik karena ketidaktepatan pembedaan santri, priyayi dan abangan yang legendaris itu, ia tetap salah seorang intelektual besar yang memberi jejak kajian penting di awal-awal pembentukan ilmu sosial modern di Indonesia.
Dan saya kira Jati Kumoro memiliki warisan itu sebagaimana terbaca dalam sudut pandangnya yang sosio-kultural minded di tulisan-tulisannya (cieeeh, biar keren saya tambahi sedikit bahasa penjajah, heuheuheu).
Di Kompasiana, salah satu K'ers yang secara sengaja menggunakan cara pandang Geertz, yang disebut Thick Description atau “pelukisan mendalam”, adalah Om Felix Tani.
Ada kesan kuat jika Om Felix Tani adalah sosiolog cum petani yang berdiri dalam tradisi berfikir Max Weber, salah satu “nabi” dari tiga peletak dasar sosiologi Modern selain Karl Marx dan Emile Durkheim.
Sementara Jati Kumoro, agak berbeda, warna sosio-kulturalnya makin nendang dengan pelukisan sejarah, khususnya narasi kerajaan, Wayang dan Keris selain humor-humornya yang bermateri seksualitas manusia.
Begitulah yang saya rasakan [maaf jika salah, murid kan memang selalu salah, hehehe].
Perjumpaan Jati Kumoro muda dengan karya Geertz yang jauh “lebih komplit” dibanding saya membuat saya harus meletakkannya sebagai seorang yang seharusnya dihormati.