Tahun dua ribu lima belas
Angin kering bergerak hilir mudik,
Dari muara pergi ke udik,
Bolak balik, udara kering, api menari-nari, asap tebal tak henti, udara bertuba, hidup dalam tercekik
Sekejap saja, ladang-ladang gambut menjadi abu, remuk tanpa bentuk
Orangutan diungsikan, bocah PAUD kesal diam di rumah,
Pejabat kecamatan, polisi dan kepala desa berkumpul rapat, Abah juga hadir disana,
“Tangkap pembakar hutan!” instruksi dari Kapolda, dari pusat katanya
Selebaran dibagikan, sanksinya mengerikan, penjara dan denda ratusan juta hingga milyaran,
“Jika kami dilarang membuka ladang, kami mau makan apa?,” tanya seorang kepala desa
Camat diam, kapolsek bingung. Melarang tanpa alternatif, itu membunuh pelan-pelan!
Orang desa membakar ladang untuk makan,
bukan perusahaan, membakar untuk menambah keserakahan,
“Bapak berdua punya solusi apa?”
Tiada jawab, tiada mufakat, rapat bubar begitu saja. Abah pulang, hatinya gundah
Setelahnya, jauh di sana, di Paris, pemimpin dunia bertemu,
Bersama kurangi emisi, Indonesia ikut mengikat janji,
Badan Restorasi Gambut dibentuk, target dikerjakan,
Abah, anak lelakinya, orang-orang kecil di tepi hutan dan sungai,
Bingung setengah mati di depan tipi, apa itu restorasi?
Dikiranya itu kerjaan bagi proyek partai pemilik tipi yang sedang terhajar korupsi,
Dan musim kembali berganti,
Asap telah pergi, hujan sepanjang hari, hidup kembali lagi,
Berkubang gali lubang, tutup lubang,
Berharap kebaikan sungai dan hutan,
Dalam sepinya, si Abah menyusun tanya, bersama Jokowi, masihkah nasib adalah kesunyian masing-masing ?*
3/
Gema tahlil mengalun sendu,
Air mata kering sudah, duka tak boleh lama-lama
Abah, orang tua itu, telah pulang kepada Yang Maha
ketika lelah menunggu di ladang jagungnya,
melepas nafas di dalam perahu yang membawanya ke rumah,
Jenazahnya menunggu menemui tanah,
Anak lelakinya duduk di samping tubuhnya yang kaku,
Ditebar pandang ke dinding rumah kayu,
Ha! ada gambar baru di samping para ulama itu,
Gambar Jokowi sedang tersenyum,
Dengan kopiah dan jas hitam,
“Presiden Republik Indonesia”,
begitulah yang tertulis di bawahnya,
Masuk ia ke kamar Abahnya,
diambilnya sepucuk kertas, sisa bungkus goreng pisang,
Tulisan tangan milik Abahnya tertera di tiap lusuhnya
sebuah doa penuh berharap :
Ya Tuhan,
semoga elit tak membikin Jokowi mati gaya,
semoga istana tak membuat Jokowi lengah,
bahwa di pinggiran sungai, rumah-rumah panggung,
di hidup pinggiran yang merayap,
banyak mulut bersandar hidup pada pemberian hutan dan sungai,
Memenuhi makan masih harus membakar sedikit lahan
Bertahan hidup disamping perkebunan dan lubang tambang,