Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

[Jokowi] Doa Seorang Tua

17 Desember 2015   12:11 Diperbarui: 17 Desember 2015   18:08 2948
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="KOMPAS IMAGES / RODERICK ADRIAN MOZES"][/caption]1/

Tahun dua ribu empat belas

Di desa tepian sungai, Kalimantan Tengah
Rumah panggung di bawah senja yang turun membawa malam,
Anak-anak telah masuk ke balik kelambu,
Perempuan-perempuan berbaring dengan kainnya,

Sebuah ruang tamu, dinding papan penuh gambar ulama,
Datuk Sanggul, Syech Arsjad Al Banjari, juga Guru Sekumpul
Tanpa kursi dan meja, ada dua gelas kopi, pekat
“Kenalkah kau pada Jokowi, Nak?,” tanya seorang tua itu pada anak lelakinya

"Belum kenal baik Bah. Yang ku dengar, ia orang biasa saja. Ia juga anak yang besar di tepi sungai.”
“Bisakah kita berharap padanya?,” bertanya lagi Abahnya.
Anak itu diam, Abahnya menatap dalam-dalam, “Bisakah?” desaknya.
“Semoga saja.”

Lelaki tua ini, membakar rokoknya, sandarkan bahunya di dinding papan,
“Kau ragu Nak, kenapa? Orang ini, wajahnya udik, pakaiannya sederhana. Tutur katanya tak rumit, senyumnya tidak sulit. Ia lebih cepat bertindak ketimbang bicara. Ia gerah di kantor, lebih suka ke kampung-kampung. Ia kayaknya beda. Tidakkah ia boleh kita percaya, Nak?”

Tak ada percakapan, lampu minyak itu terus meredup.
“Kita tidur saja Nak. Besok pagi harus memeriksa jerat rusa.”

Besok lusa pemilihan Presiden,
Jembatan kayu, jalan titian yang menyambung rumah-rumah kayu,
Lelaki tua itu duduk dengan jaring talinya mulai putus membuat lubang,
“Bah..tentang Jokowi, sebaiknya?,” tanya anak lelaki itu tiba-tiba,
Ia diam sejenak. Jaring tua dilepasnya
“Mengapa kau menjadi peduli Nak?”
Diam, tak bicara; mengapa peduli, tanya yang menguap

“Kita coba pilih Jokowi. Ia seperti kita, orang kecil yang bertahan hidup dari tepian sungai, melalui kemiskinan tanpa membuang harapan. Ia tahu suasana batin kaum yang seperti kita.” pesan Abah dalam nada yang tetap.

Dan, pemilu telah berlalu, hidup kembali seperti biasa,
Mencari ikan, mengumpul madu, berburu rusa,
Menyeruput kopi dan mengenang nostalgia
Tentang zaman babat hutan suka-suka,
Berkubang uang tiada kira
Hingga semua sirna,
Hidup berkubang dalam gali lubang, tutup lubang

2/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun