[caption caption="KOMPAS IMAGES / RODERICK ADRIAN MOZES"][/caption]1/
Tahun dua ribu empat belas
Di desa tepian sungai, Kalimantan Tengah
Rumah panggung di bawah senja yang turun membawa malam,
Anak-anak telah masuk ke balik kelambu,
Perempuan-perempuan berbaring dengan kainnya,
Sebuah ruang tamu, dinding papan penuh gambar ulama,
Datuk Sanggul, Syech Arsjad Al Banjari, juga Guru Sekumpul
Tanpa kursi dan meja, ada dua gelas kopi, pekat
“Kenalkah kau pada Jokowi, Nak?,” tanya seorang tua itu pada anak lelakinya
"Belum kenal baik Bah. Yang ku dengar, ia orang biasa saja. Ia juga anak yang besar di tepi sungai.”
“Bisakah kita berharap padanya?,” bertanya lagi Abahnya.
Anak itu diam, Abahnya menatap dalam-dalam, “Bisakah?” desaknya.
“Semoga saja.”
Lelaki tua ini, membakar rokoknya, sandarkan bahunya di dinding papan,
“Kau ragu Nak, kenapa? Orang ini, wajahnya udik, pakaiannya sederhana. Tutur katanya tak rumit, senyumnya tidak sulit. Ia lebih cepat bertindak ketimbang bicara. Ia gerah di kantor, lebih suka ke kampung-kampung. Ia kayaknya beda. Tidakkah ia boleh kita percaya, Nak?”
Tak ada percakapan, lampu minyak itu terus meredup.
“Kita tidur saja Nak. Besok pagi harus memeriksa jerat rusa.”
Besok lusa pemilihan Presiden,
Jembatan kayu, jalan titian yang menyambung rumah-rumah kayu,
Lelaki tua itu duduk dengan jaring talinya mulai putus membuat lubang,
“Bah..tentang Jokowi, sebaiknya?,” tanya anak lelaki itu tiba-tiba,
Ia diam sejenak. Jaring tua dilepasnya
“Mengapa kau menjadi peduli Nak?”
Diam, tak bicara; mengapa peduli, tanya yang menguap
“Kita coba pilih Jokowi. Ia seperti kita, orang kecil yang bertahan hidup dari tepian sungai, melalui kemiskinan tanpa membuang harapan. Ia tahu suasana batin kaum yang seperti kita.” pesan Abah dalam nada yang tetap.
Dan, pemilu telah berlalu, hidup kembali seperti biasa,
Mencari ikan, mengumpul madu, berburu rusa,
Menyeruput kopi dan mengenang nostalgia
Tentang zaman babat hutan suka-suka,
Berkubang uang tiada kira
Hingga semua sirna,
Hidup berkubang dalam gali lubang, tutup lubang
2/
Tahun dua ribu lima belas
Angin kering bergerak hilir mudik,
Dari muara pergi ke udik,
Bolak balik, udara kering, api menari-nari, asap tebal tak henti, udara bertuba, hidup dalam tercekik
Sekejap saja, ladang-ladang gambut menjadi abu, remuk tanpa bentuk
Orangutan diungsikan, bocah PAUD kesal diam di rumah,
Pejabat kecamatan, polisi dan kepala desa berkumpul rapat, Abah juga hadir disana,
“Tangkap pembakar hutan!” instruksi dari Kapolda, dari pusat katanya
Selebaran dibagikan, sanksinya mengerikan, penjara dan denda ratusan juta hingga milyaran,
“Jika kami dilarang membuka ladang, kami mau makan apa?,” tanya seorang kepala desa
Camat diam, kapolsek bingung. Melarang tanpa alternatif, itu membunuh pelan-pelan!
Orang desa membakar ladang untuk makan,
bukan perusahaan, membakar untuk menambah keserakahan,
“Bapak berdua punya solusi apa?”
Tiada jawab, tiada mufakat, rapat bubar begitu saja. Abah pulang, hatinya gundah
Setelahnya, jauh di sana, di Paris, pemimpin dunia bertemu,
Bersama kurangi emisi, Indonesia ikut mengikat janji,
Badan Restorasi Gambut dibentuk, target dikerjakan,
Abah, anak lelakinya, orang-orang kecil di tepi hutan dan sungai,
Bingung setengah mati di depan tipi, apa itu restorasi?
Dikiranya itu kerjaan bagi proyek partai pemilik tipi yang sedang terhajar korupsi,
Dan musim kembali berganti,
Asap telah pergi, hujan sepanjang hari, hidup kembali lagi,
Berkubang gali lubang, tutup lubang,
Berharap kebaikan sungai dan hutan,
Dalam sepinya, si Abah menyusun tanya, bersama Jokowi, masihkah nasib adalah kesunyian masing-masing ?*
3/
Gema tahlil mengalun sendu,
Air mata kering sudah, duka tak boleh lama-lama
Abah, orang tua itu, telah pulang kepada Yang Maha
ketika lelah menunggu di ladang jagungnya,
melepas nafas di dalam perahu yang membawanya ke rumah,
Jenazahnya menunggu menemui tanah,
Anak lelakinya duduk di samping tubuhnya yang kaku,
Ditebar pandang ke dinding rumah kayu,
Ha! ada gambar baru di samping para ulama itu,
Gambar Jokowi sedang tersenyum,
Dengan kopiah dan jas hitam,
“Presiden Republik Indonesia”,
begitulah yang tertulis di bawahnya,
Masuk ia ke kamar Abahnya,
diambilnya sepucuk kertas, sisa bungkus goreng pisang,
Tulisan tangan milik Abahnya tertera di tiap lusuhnya
sebuah doa penuh berharap :
Ya Tuhan,
semoga elit tak membikin Jokowi mati gaya,
semoga istana tak membuat Jokowi lengah,
bahwa di pinggiran sungai, rumah-rumah panggung,
di hidup pinggiran yang merayap,
banyak mulut bersandar hidup pada pemberian hutan dan sungai,
Memenuhi makan masih harus membakar sedikit lahan
Bertahan hidup disamping perkebunan dan lubang tambang,
Aamiin
[2015]
***
*). Salah satu bait dalam puisi Chairil Anwar berjudul Pemberian Tahu
**). Puisi ini juga diabadikan untuk mengenang seorang Tua, warga penghuni salah satu desa DAS Katingan, Kalimantan tengah, yang ikut mendukung Jokowi menjelang akhir hidupnya.
Catatan :
Susunan puisi ini meniru model puisi esai yang (kabarnya) dipelopori Denny J.A. Meniru model tidak berarti mengikuti seluruh karakterisitiknya. Lebih jelasnya, apa yang dimaksud puisi esai, bisa dibaca di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H