Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bahasa Puitik dan Menulis Optimisme

15 Desember 2015   08:52 Diperbarui: 16 Desember 2015   02:55 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi: Shutterstock | Admin"][/caption]Membaca reportase kawan K’ers tentang merawat optimisme dalam produksi tulisan di Kompasiana yang dianjurkan presiden Jokowi adalah salah satu pesan penting yang perlu tindaklanjuti secara sungguh. Pertama-tama, saya mencoba menangkap pesan itu bukan karena ajakan seorang kepala negara tapi sebagai sejenis panggilan (calling) terhadap diri sendiri terlebih dahulu.

Yang kedua, tentulah untuk berkontribusi kepada Kompasiana pada tahun-tahun mendatang secara lebih bermanfaat, paling kurang terhadap diri pribadi. Yang ketiga, sesudah dua tantangan ini terpenuhi secara baik barulah ia boleh menjadi penyebar optimisme ke lingkungan pembaca yang lebih luas dan kompleks.

Setiap kita memiliki cara sendiri dalam mewujudkan karya yang merawat dan menyebarkan optimisme. Jenis karya itu akan bertingkat-tingkat dan bervariasi secara tematik. Maka akan ada jenis karya yang merawat optimisme dari pengalaman-pengalaman faktual-subyektif yang sifatnya “skala kecil” hingga pada jenis karya yang berjibaku dengan hal-hal skala dan kompleks bin rumit.

Manakah jenis menulis karya yang lebih baik dipilih?

Bagi saya, tidak ada. Karya tulis yang berangkat dari concern akan peristiwa harian yang tampak sepele dan seolah sudah biasa tetap memiliki nilai optimisme yang berharga sebagaimana isu besar yang membutuhkan jenis cara memahami lebih kompleks. Persoalannya lebih pada bagaimana kita menyampaikan makna dalam membangun optimisme hidup bersama. Selain itu, secara sosial, dalam hidup berbangsa di era globalisasi, setiap peristiwa harian yang diangkat selalu memiliki konteks sistem besarnya termasuk juga setiap dinamika dalam sistem besar selalu akan memberi dampak ke dalam peristiwa harian.

Terkait menulis dan merawat optimisme tersebut, saya akan coba masuk dalam sedikit pembahasan soal ini dengan niat pertama untuk memberi sedikit “petunjuk jalan” bagi keterlibatan saya pada tahun-tahun mendatang. Dan semoga usaha awal ini dapat juga menjadi stimulus gagasan di akhir tahun. Saya mencoba menghubungkan pengertian bahasa puitik dengan menulis sebagai usaha berbagi optimisme itu.

Bahasa Puitik dalam Menulis Optimisme

Salah satu guru saya pernah berujar “dunia politik hari ini menjemukan juga dangkal; seperti mati. Karena ia telah kehilangan bahasa puitik!”.

Mendengar ini, saya sempat bingung. Politik yang kehilangan puisi? Politik yang seperti apa dan puisi yang serupa apa? Maka kami berdiskusi dan saya mengambil beberapa benang merah berikut.

Politik hari ini atau yang selama ini berjalan adalah politik yang sedang terpenjara dalam bahasa yang formal, prosedural, dan terus saja memelihara dirinya dalam pragmatisme dan perburuan material. Sehingga yang terjadi antara politisi, partai dan konstituen adalah hukuman yang formil-prosedural-pramagtis-material oriented.

Bahasa politik seperti ini bukan saja kaku, rutin, dan menjemukan. Politik menjadi sekedar kontestasi dalam pemilu. Politik menjadi sekedar kotak suara, daftar pemilih tetap, nomor urut dan kalkulasi hasil pemungutan suara. Politik yang membuat hubungan manusia jatuh pada hubungan benda-benda yang mudah saja dihargai dengan rupiah. Tak ada manusia di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun