Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Paris Attack, Karakter Bane dan Psikologi Teror

19 November 2015   09:35 Diperbarui: 19 November 2015   15:28 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mari kita mulai saja. [jangan lupa kopinya]

Pertama, psiko-history Bane dimulai dari kisah orang terbuang yang dimatikan harapannya atas hidup.Simbolisasinya adalah sebuah penjara tua, dengan satu-satunya pintu keluar masuk melalui lubang sumur yang tanpa tali dan tangga juga penjaga. Sesiapa yang coba untuk melarikan diri hanyalah perjudian dengan kematian.

Letaknya jauh di luar kota menegaskan manusia terbuang itu. Selain juga, pesan tentang ketiadaan kemungkinan bebas menunjukkan pematian harap pelan-pelan. Bebas disini bukan saja kebebasan fisik tetapi juga kebebasan sosiologis dimana penjara selazimnya berfungsi sebagai rumah bagi rehabilitasi kaum kriminal agar dapat kembali ke hidup normal. Pada penjara seperti ini, tak ada cinta dan harap, hidup hanya menunda kematian.

Kedua, psikologi-history Bane juga merupakan sebuah kehendak melayani cinta secara total (kepada anak perempuan pemimpin Rash Al Ghul) berkelindan dengan dendam ideologis yang belum tuntas terpenuhi oleh generasi teroris awal, Rash Al Ghul. Relasi psikologis seperti ini menciptakan daya juang yang bukan saja nekad tetapi juga terancang secara sempurna. Cinta yang melayani dendam kesumat bisa saja merupakan sebuah ungkap sisi yang sakit, namun, ia membebaskan Bane dari kematian harap karena penjara tua.

Pengabdian cinta yang serupa Bane membuat kematian sebagia bukti tertinggi dari kesetiaan. Cinta membuat Bane menjadi pribadi lembut sekaligus kejam tak terbayangkan. Cinta atau eros dalam maksud Sigmund Freud seharusnya mengembangkan peradaban namun pada Bane, ia menjadi gairah menyambut thanatos atau perayaan kematian. Kematian bagi kota yang sudah terlanjur sakit separah Gotham.

Ketiga, jika taktik Rash Al Ghul dalam merancang teror kota dengan senjata biokimia (: racun yang dipompakan dari sumber-sumber air) yang pusatnya terletak pada menara Wayne, maka teror Bane adalah menciptakan anarki yang lebih luas. Bane menyabotase pasar saham, membebaskan narapidana yang dihukum oleh hukum Dent, menyandera borjuasi kota, dan mengajak orang-orang miskin terlibat sebagai massa yang merayakan pemberontakan Bane. Bane mengajukan perang kota.

Teror Bane lebih popular ketimbang Ras Al Ghul walau berakar dari sejenis utopianisme yang sama. Sekali lagi, mereka bergerak untuk menumbangkan struktur masyarakat yang ditafsirkan insane. Utopianisme mereka mengandaikan suatu masyarakat yang terkelola dalam kepemimpinan moral baru yang menghadapi kejahatan dengan cara represif, bukan persuasif. Dengan kata lain, psikologi teror mereka menolak kepatuhan pada moralisme modern berikut institusi hukum-moral penopang tertib sosialnya. Psikologi terornya mengandaikan sebuah kehendak untuk melahirkan masyarakat yang ditotalisasi dengan ideal-ideal baru.

Keempat, politik isolasionisme kota yang dipilih Bane dengan meledakkan lokasi-lokasi penting bukan saja membuat Gotham terasing dari kontrol politik dan militer di luar dirinya. Isolasionisme gaya teror Bane adalah juga sebuah cara untuk menghadirkan ketakutan langsung di depan pintu rumah warga. Bane memainkan psikologi ketakutan dengan mendorong teror berhadapan langsung dengan watak individualistik yang lupa diri. Serangan psikis seperti ini juga memporakporandakan ilusi solidaritas dan kedermawanan borjuasi kota (misalnya melalui pesta-pesta amal) sekaligus mendorong orang-orang terbuang untuk mengambil kemungkinan mengendalikan kota (lewat pengadilan rakyat).

Inilah kurang lebih empat identifikasi psiko-histori dari model karakter teror yang dikonstruksi Nolan melalui sosok Bane dalam sekuel terakhir film Batman. Bane, bagi saya, adalah sebuah gambaran dari penolakan dan perlawanan terhadap peradaban yang munafik, cacat, namun terus saja mewartakan mimpi kemajuan, kemanusiaan dan demokrasi tanpa otokritik yang jujur juga sikap berbenah demi membangun dunia yang lebih baik.

Namun sejujurnya yang membuat saya cemas adalah jenis karakter yang dimiliki Joker dimana melakoni kejahatan sebagai kejahatan. Dengan kata lain, kejahatan adalah seni yang mencari pemuasan gariahnya tanpa target politik tertentu. Kejahatan seperti ini bukan saja tiada memiliki definisi atau membalik cara pandang tentang kejahatan. Tapi ia juga adalah sebuah cara untuk mengada! Ngeri.

Dan, lebih dari itu, apapun jenis daya dorong psikis, filosofis, pun teologisnya, teror oleh kelompok sipil bersenjata atau negara (state terrorism) tetaplah sebuah bahaya bagi kemanusiaan yang tidak bisa dibiarkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun