Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Kompasiana dan Subyektivasi "Subaltern"

26 September 2015   14:45 Diperbarui: 26 September 2015   14:45 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada point kehadiran Venuz dengan reportasenya yang “menyuarakan suara korban” inilah, saya melihat bagaimana satu jurnalisme warga menghidupkan kembali apa yang dalam teori Antonio Gramsci (1891-1937) sebagai suara Subaltern. Antonio Gramsci adalah pemikir Italia yang menulis teori tentang hegemoni sebagai sebuah terang penjelas mengapa orang-orang yang tertindas dalam sistem ekonomi kapitalisme malah tidak memberontak. Mereka yang tertindas dan diharapkan memberontak malah patuh sukarela pada kepempinan moral dan intelektual yang ditebar oleh kaum yang dilayani oleh eksistensi sistem tersebut.

Sebelumnya, perlu disampaikan jikalau saya memodifikasi pengertian Subaltern sebatas pada ingatan yang masih mengendap. Jadi, saya tidak cukup melakukan studi literatur lagi karena keterbatasan ruang dimana saya sekarang menetap.

Subaltern secara sederhana dapat kita maknai sebagai orang-orang kecil yang menjadi korban, entah karena penyakit, entah karena stigma ideologi, entah karena cara pandang budaya yang rasisitik, atau entah karena sistem ekonomi yang eksploitatif, yang suara-suaranya dibisukan. Dengan kata lain, subaltern adalah korban dari satu kondisi sistem yang sakit,dehumanistik, namun mereka hidup dalam penderitaannya sendiri, tanpa bersuara atau sengaja dibuat tidak bersuara.

Isu subaltern, seingat saya, sangat penting dalam kajian-kajian postkolonial. Kajian postkolonial adalah satu displin ilmu sosial humaniora yang berusaha membongkar warisan kolonialisme dalam pikiran, nilai dan praktik budaya, bahkan mimpi-mimpi masyarakat yang pernah terjajah. Mereka berambisi untuk menunjukan bahwa kolonialisme tidak sepenuh pergi paska kemerdekaan digaungkan oleh negeri-negeri dunia dengan membongkar, al : cara pandang ideologi, selera dan gaya hidup, relasi kuasa dan kepatuhan, termasuk juga keberadaan lembaga-lembaga kekuasaan yang meneruskan sejarahnya dari menduplikasi warisan zaman kolonial.

Subaltern, dalam konteks ini, mewakili mereka yang (dipaksa) berada pada lapisan bawah dari tatanan hidup yang sakit itu. Boro-boro,menyuarakan, cara pandang tertentu yang terlanjur tumbuh malah menghakimi mereka dan meletakkannya sebagai kaum yang tidak perlu diperhatikan. Penderitaan yang mereka tanggung lantas dievaluasi secara moral, bahwa itu adalah konsekuensi dari pilihan dan perbuatan sendiri. Dengan bentuk yang sarkastik, tersirat dalam ungkapan verbal : siapa suruh begitu, tanggung saja sendiri!

Atau dalam bentuk lain, para subaltern ini adalah korban dari stigmatisasi atau stereotype yang terpelihara dalam cara pandang masyarakat. Cara pandang yang secara sepihak dan terlanjur beku sehingga memaknai kehadiran mereka sebagai virus yang harus diwaspadai, kalau bukan malah dihindari secara politik dengan kebijakan-kebijakan yang membatasi mereka dari terlibat pada satu kehidupan normal.

Pada reportase kawan Venuz itu, saya melihat sebuah usaha untuk menyuarakan kisah Subaltern, yang diwakili oleh narasi hidup seorang ibu muda bernama Tiurma. Pada hemat saya, ibu Tiurma mewakili sebuah gambar hidup dari pergulatan Subaltern : orang kecil, pendidikan rendah (lulus SD), mengidap penyakit berbahaya dan menanggung stigmatisasi, juga pernah merasakan sakitnya dibuang oleh hidup yang normal.

Ditambah lagi, dengan penyajian dalam format wawancara, kita bisa secara langsung menyerap suara pemilik kisah tanpa banyak dijejali oleh pendapat pribadi si pewawancara. Dengan begitu, kita diharapkan bisa masuk dan bergumul dengan makna-makna yang menyeruak dari tiap keluaran kata yang disampaikan sumber. Dengan format wawancara yang ditulis kembali, pembaca dibawa untuk menelusuri tiap narasi hidup yang membentuk sosok luar biasa seperti ibu Tiurma.

Saya lantas menyadari, kepedulian Venuz untuk menyapa dan terlibat dalam penderitaan ibu Tiurma-- yang menyambut dengan sikap terbuka dan mau berbagi---adalah kolaborasi penting yang menghasilkan satu kisah inspiratif yang bisa dibagikan. Kepedulian jurnalisitik ala warga seperti inilah yang kemudian membuat kita, para pembaca, menjadi tergugah dan melihat sisi lain dari perjuangan hidup yang tidak mudah.

Di sini inilah, ketika perjumpaan itu berbuah reportase warga yang sangat menyentuh, Kompasiana menjadi katalisator yang bukan saja menyediakan dirinya untuk menyimpan arsip-arsip dari reportase warga, tetapi juga membagikan kisah itu ke sidang pembaca, khususnya para Kompasianer.

Dengan kata lain, Kompasiana hadir sebagai corong digital yang menyuarakan penderitaan Subaltern, serupa sosok ibu Tiurma dan komunitasnya. Kompasiana telah hadir sebagai fasilitator yang mensubyektivasi Subaltern, menjadi subyek yang bersuara dan didengar kisah hidupnya dengan mana itu dapat memberi dampak positif kepada lingkungan maknawi yang lebih luas. Dengan begitu juga, kisah-kisah inspiratif seperti milik Ibu Tiurma dapat menggugah kepedulian dan keberpihakan moral kita kepada para penderita HIV/AIDS. Paling kurang, memaksa kita untuk bercermin, menelisik diri sendiri dan menjadi sadar bahwa ada hal-hal luar biasa yang dilakukan terhadap hidup ketika dunia seperti mengutuknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun